Bab 30

25.4K 2.8K 204
                                    

Hai, hai... masih menunggu Hanaa dan Zayyeed?

Ga panjang lebar lagi ya, happy reading. Jangan lupa vote yang banyak dan komennya, biar semangat dikit updatenya, wkwk

Luv,

Carmen

________________________________________________________________________________

Ana-Maria tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya.

Tubuhnya membeku, tidak mau bergerak. Lebih tepatnya, tubuhnya tidak bisa bergerak.

Matanya membelalak lebar, tatapannya beradu dengan sang pemilik mata gelap tersebut. Jantungnya berpacu begitu cepat sehingga ia merasa sesak ketika wajah maskulin itu kian mendekat. Ana-Maria tetap tak mampu bergerak saat wajah itu turun ke arahnya, wajah tegas bangsawan pria itu, hidung mancung arogannya, bulu-bulu kasar yang memenuhi pelipis, rahang hingga dagu tegas yang membuat Ana-Maria bergidik sekaligus berdesir aneh. Lalu tatapannya fokus pada sepasang bibir lebar yang tampak kuat sekaligus lembut, mengancam tetapi juga menggoda dan Ana-Maria mulai berhalusinasi, membayangkan yang tidak-tidak.

Mungkin karena wangi dari bunga-bunga di taman ini yang sudah menyihirnya, tapi di mata Ana-Maria, pria itu terlihat berbeda, dia indah, seperti pangeran eksotis dari dunia lain. Hanya saja dia bukan sekadar pangeran ilusi, pria itu sejatinya seorang raja. Ana-Maria mereguk ludah, gagal menenangkan irama jantungnya yang semakin kacau. Mungkin saja taman mistis ini memerangkapnya dalam pesona yang asing, karena entah kenapa, ia mulai menatap bentuk bibir pria itu dan bertanya-tanya, sehebat apakah rasanya saat ia didekap dan dicium oleh sosok yang begitu berbeda dengannya - gelap, besar, kuat, maskulin dan terlalu jantan, lalu apakah ciumannya juga terasa seperti itu?

"Jadi bagaimana, Hanaa?" Bahkan bisikan pria itu terdengar mistis, membius, menyihir, membuai dan menidurkan akal sehat Ana-Maria.

"A... apa?" Ia sama sekali tidak tahu apa yang dibicarakan pria itu. Tatapannya terlalu fokus pada bibir sang raja arogan tersebut juga pada debaran jantungnya sendiri yang terus berkejaran.

"Kau akan memberiku kesempatan, iya, kan?"

Kesempatan, kesempatan seperti apakah yang diminta pria itu? Tanpa sadar, Ana-Maria mengucapkan pertanyaan tersebut.

"Let's try." Bisikan magis itu memenuhi kepala Ana-Maria, sementara napas hangat pria itu membelai lembut wajahnya. "Biarkan aku menciummu, satu ciuman dan kau boleh memutuskannya setelah itu."

Satu ciuman, pikir Ana-Maria linglung. Apa salahnya? Satu ciuman dan bukan berarti ia mengkhianati Bruce, bukan? Satu ciuman dan mungkin rasa penasaran di dalam hatinya akan terjawab. Satu ciuman dan Ana-Maria akan tahu bagaimana rasanya didekap dan dicumbu oleh pria asing tersebut. Ya, apa bahayanya satu ciuman? Benar, ia akan membiarkan pria itu menciumnya. Lalu Ana-Maria akan mengatakan pada pria itu bahwa ia tidak terkesan. Satu ciuman yang akan menyelesaikan semua masalah. Ia akan membiarkan itu menciumnya lalu Ana-Maria akan menolak pria itu tegas serta mematahkan kearoganannya yang tak tertahankan itu. Tak mungkin sang raja masih menginginkannya bila Ana-Maria lancang menyepelekan keahlian menciumnya.

Ya, itu paling benar. Satu ciuman... ia mengizinkan pria itu memberikannya. Tatapannya kembali melekat di bibir yang kian dekat tersebut dan entah kenapa, Ana-Maria mereguk ludah.

"Sa... satu ciuman." Ia juga benci dengan suaranya yang bergetar. "Hanya sa..."

Tapi kalimatnya tak pernah selesai. Pria itu tidak membiarkan Ana-Maria menyelesaikan ucapannya. Bibir keras pria itu langsung menempel pada bibir Ana-Maria tanpa izin sepenuhnya dari sang pemilik, tangan-tangan kuatnya terasa mendekap Ana-Maria, hangat dan menggetarkan, mencuri napas Ana-Maria dan membuat tubuhnya berdesir oleh rasa takut yang asing.

Oh Tuhan, bagaimana ia menggambarkannya? Ciuman pria itu... mengguncang Ana-Maria. Di saat bibir itu menempel padanya, mungkin saja di saat itu juga akal sehat Ana-Maria hilang tak berbekas. Jantungnya meledak ketika tekanan bibir tegas itu dengan lihai menguasai bibir bawahnya, mengecup perlahan, mempelajari teksturnya dengan gerakan nyaris memuja. Ana-Maria tak pernah dicium seperti ini sebelumnya, usapan membelai yang menggetarkan hingga ke seluruh tubuhnya, hisapan berirama pada bibir bawah Ana-Maria. Oh... pria itu memperlakukannya dengan lembut tetapi gairah pria itu membungkus Ana-Maria panas, sepanas dekapannya yang kuat tetapi memabukkan.

Pada suatu waktu, Ana-Maria mungkin mendesah tanpa sadar ketika godaan bibir pria itu terlalu besar untuk ia abaikan dan lidah pria itu menelusup masuk dengan ringan. Awalnya, mengejutkan. Lidah asing panjang yang menerobos tiba-tiba, namun pria itu pandai membujuk. Lidahnya tidak mengintimidasi, tapi tetap membelai lembut, mengajak Ana-Maria untuk menari bersamanya. Lidah itu tidak menjajah, bibirnya juga tidak menuntut, kecupannya manis membara dan belitan lidah serta hisapan yang diberikan pria itu membangkitkan denyut mengejutkan di tengah tubuh Ana-Maria.

Mata Ana-Maria otomatis menutup, untuk mengecap ciuman itu dengan imajinasi rasanya. Dan ketika pria itu mengeratkan pelukan dan memperdalam ciumannya, Ana-Maria mengerang lembut dan pertahanannya perlahan runtuh. Ia membalas coba-coba, bermain dengan lidahnya dan menyambut pria itu dengan lebih terbuka. Dan ketika pria itu menjauhkan kepala, Ana-Maria tidak bisa mencegah rasa kecewa menguasai dirinya.

Ana-Maria bergetar ketika menyadari napas pria itu membelai daun telinganya dan tangan-tangan pria itu turun untuk hinggap di kedua sisi pinggangnya, seolah dia tahu bahwa kedua lutut Ana-Maria nyaris meleleh. Bisikannya menggema, memanggil pelan Ana-Maria agar kembali berpijak di bumi. "Aku bisa memberimu lebih dari ini. I promise you. Yang perlu kau lakukan, hanyalah mempercayaiku. We're made for each other, My Hanaa."

Ana-Maria berdesir oleh bisikan tersebut, oleh efek kalimat yang ditimbulkan pria itu. Matanya yang terbuka kini sendu tertutup kabut gairah, tubuhnya masih terbakar pelan oleh sisa bara, denyut itu masih terasa jauh di tengah tubuhnya. Apa yang telah terjadi padanya?

Panik, ia mengumpulkan kekuatan dan mendorong pria itu menjauh. Kaki-kakinya yang gemetaran membawanya bergegas meninggalkan taman hingga ia aman bersembunyi di balik dinding kamarnya yang kokoh. Syukur, pria itu tidak mengejarnya. Ana-Maria melemparkan dirinya ke atas ranjang dan mengubur wajahnya di sana, tak berhenti mengerang malu dan mengutuk ketololannya.

Ia lemah!

Ia wanita yang mudah dimanipulasi.

Ya Tuhan, tubuhnya masih menyisakan getar mendamba.

Rasa bibir pria itu... bekas sentuhannya... panas yang ditinggalkannya... semua masih terasa.

Nyatanya, satu ciuman itu adalah kesalaham besar. Ciuman itu terlalu hebat dan mengguncang sehingga Ana-Maria kalah.

Kini, alih-alih menolak pria itu, ia hanya menjadi kian penasaran. Setelah satu ciuman tersebut, ia tergoda untuk membiarkan pria itu membuktikan sisa ucapannya.

Sejak pertama melihatmu di balkon itu, aku tahu kita memiliki sesuatu. Kau hanya belum menyadarinya, Hanaa.

Benarkah itu?

Dan percayalah, akan tiba waktunya kau sadar bahwa kau tidak benar-benar mencintai pria itu.

Tapi ia mencintai Bruce. Tak mungkin ia sebuta itu tentang perasaannya.

Tapi kenapa tubuhnya kini merespon pria lain? Mengapa tubuhnya tak sejalan dengan hatinya?

"Maafkan aku, Bruce. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Kumohon cepatlah kembali, sebelum aku semakin goyah pada perasaanku dan keyakinanku bahwa kau tidak bersalah."

Bahkan ketika mengucapkan kalimat itu dalam sepi, Ana-Maria meneteskan air mata. Karena jauh di dalam lubuk hatinya, ia tahu bahwa sesuatu telah berubah. Bruce juga mungkin tidak akan kembali.

The Sheikh's Love-SlaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang