Empatbelas

32.3K 3.2K 40
                                    

Happy Sunday ya and happy reading. Maaf telat update karena lagi sibuk. Semoga masih menunggu. Dan part ini pendek ya, karena dapatnya memang pendek, haha.. semoga yang next bisa lebih berisi. Anyway, enjoy.

Luv,

Carmen

_____________________________________________________________________________

Rasanya panas, menggelisahkan, seolah-olah ada api dari dalam yang membakar dirinya, membakar dadanya, tenggorokannya, perutnya, organnya.. dan kepalanya seolah dihantam godam yang keras, sakitnya sungguh membuatnya ingin mencabut kepalanya sendiri.

Ana-Maria mengerang keras, seolah dengan demikian ia bisa membuat rasa sakit itu lenyap.

Ia ingin seseorang menghentikan rasa sakit ini, menolongnya...

Seseorang...

Seseorang yang sungguh dirindukannya.

"Ma... Mama..."

Ana-Maria sungguh merindukan ibunya, seandainya wanita yang disayanginya itu masih ada di sini.

"Andreaa..."

Ya Tuhan, ia juga sungguh merindukan kakaknya, bahkan ia rindu akan kecerewatan Andreaa. Ana-Maria merindukan keponakannya, bahkan juga kakak iparnya. Ia rindu akan keluarganya, keluarganya yang berisik dan suka ikut campur itu.

"Ma... Mama... A... Andreaa... maaf... kan... maafkan aku..."

Mungkin ia seharusnya mendengarkan nasihat kakaknya.

Sesuatu yang dingin dan menyenangkan terasa ditekankan ke dahinya, dan Ana-Maria mendesah. Tekanannya tegas tetapi lembut, mendinginkan matanya yang terasa terbakar. Ana-Maria menggumam, ia bergerak pelan tapi buka karena gelisah, ia ingin mendekatkan diri pada sumber kenyamanan yang baru ditemukannya tapi sesuatu menahannya agar tetap di posisinya semula. Ana-Maria menggerutu pelan tapi ia tidak keberatan, asal rasa sejuk itu terus bertahan di dahinya.

Suara itu bergema di kepalanya. Awalnya, Ana-Maria pikir Andreaa yang berbicara padanya.

"Kau akan baik-baik saja. Kau harus baik-baik saja. Kau harus sembuh, Hanaa. Kau harus bertahan di sini. Dan bila waktunya tiba, aku akan mengizinkanmu bertemu Andreaa."

Siapa? Siapa yang tengah berbicara padanya? Ana-Maria menggapai, tapi ia tidak bisa melakukannya. Ia ingin melihat, tapi ia tidak bisa membuka matanya yang berat. Siapa? Siapa yang sedang berbicara padanya? Ana-Maria ingin bertanya apakah orang itu mengatakan yang sebenarnya? Apakah keluarganya akan datang? Apakah ia akan pulang?

Oh ya, kenapa ia bisa begitu bodoh? Tentu saja itu Bruce. Bruce yang membawanya ke sini, pria itu akan memastikannya baik-baik saja. Bruce akan membawanya pulang. Ana-Maria tidak pernah tahu bahwa ia bisa begitu merindukan keluarganya di St. Monty.

"Bruce..."

Bruce, kumohon, bawa aku pulang... Tapi kata-kata itu tertelan begitu saja, ia kembali tenggelam dalam ketiadaan.

***

Pikiran pertama ketika Ana-Maria membuka mata adalah... kenapa ia bisa berada di sini?

Lalu, pertanyaan itu terjawab beberapa detik kemudian. Saat ia melihat seorang wanita berjalan masuk.

Azra...

Tentu saja. Ia berada di Zaazabyeer, di Istana Harem Andalusi, dan mimpi menyenangkan yang baru dialaminya beberapa detik lalu, di mana ia dikelilingi keponakannya memang tak lebih dari mimpi semata. Rasanya, Ana-Maria ingin menangis frustasi.

"My Lady, Anda sudah bangun?!"

Azra tampak begitu senang dan lega, nada suara dan ekspresinya jelas tertangkap dan terlihat, sehingga Ana-Maria tidak tega. Ia memaksakan senyum.

"Kurasa. Apa yang terjadi padaku?" tanyanya. Hal terakhir yang ia ingat hanyalah membaringkan diri di ranjang ini dengan kepala berdenyut sakit dan tenggorokan yang terasa terbakar.

Azra segera mendekat dan bersimpuh di bawah ranjang sambil menggenggam tangannya. "Kami cemas sekali, My Lady. Anda demam tinggi dan tidak sadarkan diri. Anda tidur lama sekali."

Dahi Ana-Maria berkerut. Benarkah? Selama itu?

"Aku... tertidur lama sekali?"

Azra mengangguk. "Sejak kemarin siang, Anda panas tinggi. Dokter dipanggil. Lalu Anda tidur terus, sampai sore ini. Anda tidur lebih dari dua puluh jam, My Lady. Lihatlah, bahkan luka di punggung Anda sudah membaik. Anda sudah bisa berbaring telentang sekarang. Lihat?"

Ana-Maria kemudian menyadari bahwa ia memang sedang berbaring telentang, menghadap langit-langit dan punggungnya... rasanya sudah tidak seburuk kemarin.

"Jadi... aku benar-benar sakit?"

Terdengar kekehan pelan Azra sebelum dia menimpali. "Anda sungguh lucu, My Lady. Tentu saja. Semua orang sangat mencemaskan Anda."

Benarkah? Ia hanya tawanan yang hidupnya bergantung pada tali yang sangat tipis. Setelah tersadar, kenyataan berat itu kembali menekan dadanya seperti batu berat.

"Saya harus melaporkannya pada Nyonya Kouri, My Lady. Yang Mulia sangat khawatir sekali dengan keadaan Anda."

"Yang... Mulia?" tanya Ana-Maria heran. Kenapa pria itu harus peduli? Bukankah akan lebih baik jika ia mati? Kenapa harus repot-repot mengkhawatirkannya?

"Ya. Yang Mulia langsung mendatangi Anda kemarin siang. Beliau yang merawat Anda hingga malam. Semua pelayan dilarang mendekat. Anda sangat... sangat beruntung, My Lady, karena mendapatkan kasih sayang Yang Mulia. Sekarang, saya permisi dulu. Saya akan memanggil Nahla untuk melayani Anda menggantikan saya."

Ana-Maria nyaris tidak menyadari kepergian Azra karena benaknya berputar bingung pada ucapan yang barusan disampaikan wanita itu. Pria itu merawatnya? Yang benar saja! Mengkhawatirkannya? Gotta be kidding, right? Gara-gara siapa ia bernasib seperti ini? Juga tidak mungkin sang raja arogan dan kejam itu bisa mencemaskannya. Apa alasannya? Ia tak berharga untuk pria itu. Kecuali... Ana-Maria menelan ludah dan merasakan tenggorokannya yang sangat kering... kecuali, seperti kata pria itu, Ana-Maria bisa menjadi alasan untuk memancing Bruce kembali.

Hatinya kini berdenyut untuk alasan yang lain. Benarkah Bruce akan kembali? Pria itu tentu akan kembali, bukan? Tidak ada alasan untuk tidak kembali. Ia yakin Bruce adalah profesor sejati yang terikat kontrak kerja, bukan seperti yang ditekankan pria itu padanya. Ana-Maria percaya Bruce adalah Bruce yang sebenarnya. Raja Zaazabyeer itu hanya mencoba bersikap keji padanya dengan menolak mengakui kesalahannya. Tapi setelah penyelidikan, ia yakin pria itu tidak akan punya alasan untuk terus memfitnah mereka berdua.

"Bruce... please, cepatlah kembali."

Ingatan itu menyeruak tiba-tiba – entah itu potongan mimpi atau potongan ingatannya ketika sedang terbaring sakit, Ana-Maria tidak yakin. Awalnya, ia berpikir ia tengah memimpikan Bruce, bahwa suara pria itulah yang mengisi alam bawah sadarnya. Tapi, kini Ana-Maria tidak lagi yakin.

Kau akan baik-baik saja. Kau harus baik-baik saja. Kau harus sembuh, Hanaa. Kau harus bertahan di sini. Dan bila waktunya tiba, aku akan mengizinkanmu bertemu Andreaa. Tapi untuk itu, kau harus sembuh dulu.

Pria itukah? Pria arogan itukah yang mengatakannya?

Renungannya terpaksa berhenti ketika Nahla masuk, lengkap dengan senyum lebar dan nampan besar. Baru pada saat itu Ana-Maria sadar bahwa perutnya sedang mengeluarkan protes. God, rupanya ia lapar setengah mati hingga tak lagi menyadarinya.

The Sheikh's Love-SlaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang