Bab 36.A

13.8K 1.9K 86
                                    

Happy reading, semoga suka. Jangan lupa vote dan komennya ya.

Yang mau baca duluan bisa lanjut ke karyakarsa ya, sudah update sampai bab 42.

Yang mau baca duluan bisa lanjut ke karyakarsa ya, sudah update sampai bab 42

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luv,
Carmen

_________________________________________

Saat ia masuk ke dalam kamar wanita itu yang dipenuhi aroma wangi khas yang feminim, ia melihat gerakan pelan di ranjang. Lalu terdengar Hanaa berbicara dengan punggung menghadap padanya.

“Nahla? Azra? Pergilah, aku tidak butuh kalian,” ujar wanita itu dengan suara agak serak.

Zayyeed dengan tenang mengunci pintu sebelum membuka mulut. “Jadi, apa yang kau butuhkan, Hanaa? Apakah aku?”

Hanaa bangun dengan kaget dan duduk di ranjang dalam satu gerakan kilat yang cepat, tatapannya membelalak seolah dia tak percaya pada penglihatan dan juga pendengarannya sendiri. Zayyeed berjalan mendekat tatkala wanita itu masih membeku di atas ranjang.

“Ya… Yang Mulia?” panggil wanita itu setengah berbisik.

“Ya, ini aku.”

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Hanaa agak panik saat Zayyeed terus mendekat. Ia bisa melihat wanita itu mencengkeram selimut dan menariknya lebih tinggi. Dan gemuruh di dada Zayyeed begitu keras hingga mengejutkan dirinya, itu adalah gabungan dari rasa posesif, cemburu, gairah yang liar dan juga setitik amarah karena penolakan terus-menerus. Tapi Zayyeed berusaha menahannya.

“Apa aku tidak boleh mengunjungi selirku sendiri?” tanyanya lalu berhenti di samping ranjang.

Hanaa mendongak menatapnya.

“Tengah malam begini?”

Senyum kecil muncul di bibir Zayyeed. “Hanaa, memang biasanya seorang pria mengunjungi wanitanya di malam hari.”

“Kau!”

Zayyeed duduk di tepi ranjang sebelum Hanaa memutuskan untuk meloncat berdiri lalu lari menjauh. Ia berusaha meraih bahu Hanaa tapi wanita itu menghindar. Dan setelah berkali-kali ditolak oleh wanita itu, Zayyeed sudah menguasai perasaan tersebut. Bahkan ia merasa ia sudah hampir terbiasa.

“Aku bukan wanitamu, Yang Mulia.”

Betapa Zayyeed ingin merangkum wajah wanita itu dan mencium Hanaa sampai wanita itu memohon ampun dan menerima kenyataan bahwa dia memang milik Zayyeed.

“Kau adalah selirku,” alih-alih mencium wanita itu hingga gila, Zayyeed memilih menjawab pelan.

“Setelah menghilang berhari-hari, itu yang sekarang kau katakan padaku?!”

Alis hitam Zayyeed terangkat bertanya. “Kenapa Hanaa? Kau merindukanku? Apa kau menghitung malam-malam ketika aku tidak mengunjungimu?”

Terdengar dengusan sengit. “Berhentilah bersikap menyebalkan, Yang Mulia.” Lalu dengan kasar, seolah Zayyeed bukanlah penguasa mulia yang harus dihormati dan ditakuti, wanita itu lagi-lagi menepis tangan yang bergerak untuk menyentuh bahunya. “Aku hanya ingin mengingatkan bahwa kita punya kesepakatan. Aku hanya tidak mau kau lupa dan berhenti datang karena kau… kau… tersinggung.”

Tersinggung? Mudah sekali wanita itu menjabarkan perasaan Zayyeed. Ia bertanya-tanya, apakah Hanaa bahkan mengerti apa yang dirasakannya?

“Tersinggung?” tanya Zayyeed halus, suaranya merendah karena ia berusaha menahan gejolak rasanya. Ingin sekali ia mengguncang wanita itu hebat untuk menyalurkan rasa frustasinya. Kali ini, mungkin bahasa tubuhnya yang mengancam yang telah membuat Hanaa terpaku karena wanita itu bahkan tak mencoba menepis tangan Zayyeed yang singgah di rahangnya. Jari-jari Zayyeed yang panjang mencengkeram kulit halus tersebut saat ia memaksa Hanaa menatap ke dalam matanya. Apakah wanita itu tidak bisa melihat bahwa di balik tatapan Zayyeed, ada sejuta rasa yang dirasakannya untuk Hanaa, selir kecilnya yang cantik tetapi keras kepala itu? Apakah Hanaa begitu buta sehingga tidak bisa mendeteksi dahsyatnya rasa mendamba yang terpancar dari kedua bola mata Zayyeed?

“Yang… Yang Mulia?”

“Kau tahu hukuman di tempat ini jika kau menyebut nama pria lain di hadapan priamu, Hanaa? Kau beruntung karena aku memiliki kesabaran menghadapimu, jika dengan pria lain, kau mungkin sudah celaka, Hanaa.”

Wanita itu berusaha menghindari tatapannya tapi Zayyeed memaksa. “Tatap aku.”

“Please Yang Mulia, aku tidak… aku tidak pernah bermaksud menyakitimu.”

Sudut bibir Zayyeed berkedut tegang. “Kau bohong. Kau memang bermaksud menyakitiku. Kau sengaja melakukannya, iya kan? Hanya untuk membuatku marah dan pergi.”

“Ak… aku tidak…” Hanaa tampak menelan ludah.

“Aku adalah seorang raja, Hanaa. Aku hidup dalam peraturan. Aku juga punya harga diri dan kebanggaan. Tapi selama ini aku selalu berusaha menolerirmu. Tapi malam itu kau keterlaluan. Kau sudah menghina dan menginjak-injak harga diriku. Kau beruntung aku tidak mencekikmu hingga habis napas.”

“Maaf… sungguh, maafkan aku… aku…”

Zayyeed menggeleng pelan. “Tapi aku tidak bisa menyakitimu. Aku tidak akan pernah menyakitimu. Apapun yang kau lakukan, aku tidak akan pernah bisa menyakitimu. Sebesar itulah aku menginginkanmu, Hanaa. Kenapa kau terlalu pengecut untuk mengatakan hal yang sama? Apa yang kau takutkan? Aku tahu… aku tahu jauh di dalam dirimu, kau menyembunyikan hasrat itu. I know very much that you want me, Hanaa. Come out from your shell, don’t hide anymore.”

Hanaa berusaha menggeleng. “Yang Mulia… tolong…”

“Kalau aku menciummu sekarang, apakah kau bisa dengan tegas mengatakan bahwa kau tidak merasakan apapun?”

The Sheikh's Love-SlaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang