Dua puluh sembilan

27.5K 3.1K 160
                                    

Happy Sunday, semoga sehat selalu.

Semoga masih menanti cerita ini. Jangan lupa vote dan komennya ya. Kalau udah 2000 votes nanti saya update dah, hoohoho...

Stay safe and healhty.

Luv,

Carmen

________________________________________________________________________________

Aku menginginkanmu.

Zayyeed berdesir mendengarkan ucapannya sendiri, ia berusaha menebak-nebak apa yang tengah Hanna pikirkan.

Tak ada lagi permainan, tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Tapi sebelum wanita itu kembali histeris, Zayyeed menambahkan, sedikit sarkas, "Tapi jangan khawatir, tidak malam ini, Hanaa. Aku datang untuk menanyakan sesuatu, terkait kekasih terorismu itu."

Ia bisa merasakan Hanaa menegang namun hanya itu. Ekspresi wanita itu sulit ditebak namun menyebut Bruce jelas mengubah suasana hati Hanaa.

"Kau sudah menemukannya?" tanyanya cepat.

Zayyeed tidak bisa membaca perasaan Hanaa ataupun apa yang sesungguhnya dipikirkan wanita itu. Ia sama sekali tidak tahu dan terkadang itu membuatnya kesal.

"Belum," jawabnya setengah berdusta.

"Jadi... apa yang ingin kau tanyakan?" lanjut wanita itu datar, nadanya langsung berubah. 

"Tidak di sini," jawab Zayyeed akhirnya. Dan tanpa menunggu persetujuan Hanaa, ia menarik lengan wanita itu dan membawanya ke pintu geser yang mengarahkan mereka ke taman tersembunyi di bangunan ini. "This is more private."

Hanaa tidak membantah. Tentu saja, bila berkaitan dengan Bruce, wanita itu hampir tidak pernah membantah. Apapun untuk kekasih berengseknya itu. Mantan, ralat Zayyeed kemudian. Karena Hanaa adalah miliknya sekarang dan ia akan membunuh Bruce bahkan bila pria itu berani memikirkan Hanaa-nya.

"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?" Hanaa bersuara ketika Zayyeed sudah menggeser pintu agar tertutup.

Ia berbalik untuk menatap Hanaa yang berdiri beberapa langkah jauhnya. Sesungguhnya, ia tidak tahu apakah ini hanya alasannya untuk bertemu Hanaa tapi menurut Zayyeed, informasi ini akan membantu. Ia berjalan mendekati Hanaa dan berbicara ketika sudah berdiri di hadapan wanita itu.

"Apakah Bruce pernah bercerita tentang adik dan ibunya?" tanyanya membuka percakapan.

Hanaa menatapnya sesaat sebelum mengangguk pelan.

"Kau ingat nama mereka?" tanya Zayyeed lagi.

Hanaa menatapnya bingung. "Apa hubungannya?"

"Kau ingat atau tidak?" tanya Zayyeed lagi, penuh penekanan.

"Apakah penting?" tanya Hanaa keras kepala.

"Kalau aku sampai bertanya, maka iya, itu penting. Atau kau menyembunyikan sesuatu? Apa kau sebenarnya tahu apa kegiatan rahasia mantan kekasihmu itu?!" desak Zayyeed, mulai kesal.

Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Hanaa memucat samar dan dia tidak memperhatikan istilah yang Zayyeed gunakan - mantan kekasih. Tapi, memang seperti itu, bukan?

"Tidak!" Dia menggeleng tegas. "Dan iya, iya, Bruce pernah bercerita, sekilas."

"Bagus, kalau begitu, tidak ada susahnya kau memberiku informasi tersebut. Kau sendiri yang berkata bahwa kau ingin aku membantumu membersihkan namamu," ingat Zayyeed.

"Tapi... tapi hanya sekilas. Aku... aku harus..." Hanaa tergagap.

"Berusahalah untuk mengingatnya, Hanaa." Lalu, Zayyeed kembali meletakkan tangan di kedua pundak rapuh Hanaa, meremasnya lembut saat ia membujuk wanita itu. "Ini informasi yang penting dan hanya kau yang bisa memberikannya."

Mata indah cerah wanita itu terangkat lebar menatapnya ragu. "Apa... apa yang akan terjadi seandainya kau menemukan Bruce?"

Zayyeed berusaha menekan emosinya ketika menjawab. "Tentu saja kami akan memeriksanya. Sesuai prosedur hukum yang berlaku di Zaazabyeer."

"Lalu... lalu..."

"Jika dia tidak bersalah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi Hanaa, kau tidak akan melindungi seorang tersangka kriminal, bukan? Itu akan menempatkanmu sama dengan mereka dan aku tidak akan mau melindungimu. Bagiku. tak ada toleransi untuk kejahatan. Kau tahu itu, bukan?" desak Zayyeed lagi.

Mata wanita itu kian melebar lalu dia merunduk dan bibir merahnya terbuka, menyebut sebuah nama. "Mason."

"Mason?" ulang Zayyeed.

"Ya, Mason. Itu nama adiknya."

"Bagus," puji Zayyeed. "Kau ingat nama ibunya?"

Kali ini, Hanaa menggeleng. "Tidak. Seingatku Bruce tidak pernah menyebut namanya. Atau aku tidak terlalu memperhatikannya. Sungguh, aku tidak tahu... aku..."

"Sstt..." Zayyeed menenangkan wanita itu dan kembali meremas pundaknya ketika Hanaa mendongak menatapnya. Wanita itu sedang lemah, dipenuhi keraguan, tampak bimbang dan tak yakin. "Tidak apa-apa, itu sudah cukup. Jika kau mengingat sesuatu, informasi apapun terkait kehidupan pribadi Bruce, beritahu aku, oke?"

Hanaa mengangguk lemah.

"Tidak apa-apa, Hanaa. Segalanya akan baik-baik saja. Aku akan mengurus segalanya."

Sekali lagi, Hanaa menatapnya, rapuh, gamang, tampak tidal yakin. "How? Bagaimana... bagaimana kalau kau salah?"

"Then he walks free," ujar Zayyeed. Lalu, ia menunduk lebih rendah, merengkuh wajah Hanaa dan senang karena wanita itu terlalu bingung untuk menolak. "Tapi kau bukan wanita bodoh, Hanaa. Kau tidak mungkin mengabaikan fakta yang ada di depan mata, walaupun kau sangat menginginkannya. Pria itu memanfaatkan perasaanmu, membohongi dan menjebakmu, apapun alasannya, dia menipumu. Kau harus bisa melupakan rasa cintamu padanya, Hanaa. Kau harus menata perasaanmu. Dan percayalah, akan tiba waktunya kau sadar bahwa kau tidak benar-benar mencintai pria itu."

"You wish for it."

"No, i know it," jawab Zayyeed yakin. "Sejak pertama melihatmu di balkon itu, aku tahu kita memiliki sesuatu. Kau hanya belum menyadarinya, Hanaa. But we can work it out, together, if you give me a chance. And you will give me the chance, won't you?"

Zayyeed sudah turun begitu dekat, bibirnya kini nyaris menyentuh bibir Hanaa dan ia tidak berani bergerak, bergeming menunggu, namun Hanaa seolah tersihir oleh waktu.

The Sheikh's Love-SlaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang