SERPIHAN HATI.

12.1K 902 22
                                    


Minta 50 vote boleh?
Sebelumnya sepi banget 😫😫

***

"Kamu dari mana?"

Mya baru saja tiba di lobi apartemen setelah ia mengakhiri pertemuannya dengan Sakti, atau lebih tepatnya Sakti yang sengaja mengakhirinya setelah sesuatu mengoyak dada, sebut saja luka. Mya terlalu memikirkannya sampai-sampai ia tak memperhatikan sekitar dan menubruk suaminya sendiri dari belakang.

"Ak-aku, habis dari cofeeshop tadi." Mya tersenyum canggung. "Kamu udah pulang, Wa?"

"Baru aja." Ia meraih tangan Mya dan menariknya menghampiri lift, genggam tangan Dewa ternyata cukup efektif menggugurkan kecemasan dalam diri Mya, ia merasa nyaman dan baik-baik saja sekarang.

Mereka telah layak disebut sepasang suami istri seperti yang Mya harapkan, ia tak hanya ingin belajar mencintai, tapi juga menjaga kisah mereka agar tetap abadi. Mungkin tidak sesederhana itu, paling tidak Mya memiliki seseorang yang sudi menjadi tumpuan saat ia merasa hendak jatuh, ia ingin segalanya terasa panjang sampai lupa pernah mengawali dengan luka.

Meski masih terasa asing, tapi Mya berusaha mengerti segala yang harus terjadi, salah satunya rangkum tangan di dalam lift malam ini. Tak ada percakapan apa-apa selama lift membawa mereka menemui lantai tertuju, begitu keduanya keluar Dewa tetap merangkum telempap sang istri di sepanjang lorong hingga tiba di depan unitnya.

"Terus, kopinya mana?" Rupanya Dewa belum meninggalkan pembahasan mereka saat bertemu di lobi, keduanya baru saja masuk—saat Dewa akhirnya meloloskan tangan Mya.

"Aku enggak bawa kok, tapi diminum di sana." Padahal Mya sendiri sadar jika kopi yang disebutkannya adalah sebuah omong kosong, hanyalah tameng yang menjadi alasannya duduk di sofa cofeeshop tadi. Sampai Mya memutuskan membayarnya pun kopi tetap tak tersentuh, entah itu miliknya atau milik Sakti. Rupanya dua cangkir kopi yang utuh meninggalkan cerita tentang luka, membuat seseorang merasa nestapa.

"Kamu di cofeeshop sendirian?" Dewa duduk di sofa dan membungkuk melepaskan pantofelnya, ia menengadah menatap Mya yang bergeming dengan raut berbeda. "Ada masalah? Aku mau dengerin kok."

Mya mengalah, tak baik juga ia menyimpan cerita tersebut, kini Mya duduk di samping Dewa. "Tadi aku ketemu sama Sakti, Wa."

"Terus?"

"Aku bilang soal pernikahan kita ke dia."

"Ya bagus dong, kan emang niatnya publikasikan, apa yang kamu lakukan udah tepat kok." Dewa tersenyum, ia menyentuh pipi kanan Mya. "Besok ikut, ya."

"Ke mana, Wa?"

"Ada acara pembukaan kantor cabang yang baru, aku mau kamu ikut aku besok malam. Sekalian kenalin kamu ke orang-orang." Setelahnya Dewa beranjak meninggalkan Mya menuju kamarnya, perempuan itu tersenyum tipis, rupanya Dewa benar-benar serius dan menepati janjinya untuk memublikasikan pernikahan mereka di depan banyak orang. Keraguan Mya semakin terkikis dan habis, perlahan serta pasti Dewa mulai berubah seperti seharusnya, menjadi seorang suami selayaknya.

***

Hari berputar seperti seharusnya saat orang-orang duduk di balik meja kerja masing-masing seraya melakukan sesuatu yang membuat setiap kepala terasa pening, Mya juga melakukannya pagi ini, tapi ia melupakan secangkir kopi yang biasanya menemani ketika Mya merangkai kesibukan di dalam ruang kerja. Ia memutuskan beranjak dan keluar dari sana, tujuannya adalah pantry.

Mya melewati beberapa kubikel teman-temannya, mereka semua tampak serius bekerja sampai tak menyadari orang lain memperhatikan. Tepat ketika Mya hendak melangkahkan kakinya melewati ambang pintu pantry yang selalu terbuka lebar tatkala jam operasional kantor tengah berlangsung—ia berpapasan dengan Sakti dan membuat Mya refleks berhenti.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang