MESIN WAKTU.

10.1K 886 16
                                    


Sub judulnya persis kayak lagu yang temenin aku nulis chapter ini, Mesin Waktu — Mawar Eva.

***

Pelataran coffeshop, atau lebih tepatya di bawah naungan meja berpayung pelataran coffeshop yang tak terlalu ramai siang ini menjadi tempat bertemunya Mya dan Herdi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pelataran coffeshop, atau lebih tepatya di bawah naungan meja berpayung pelataran coffeshop yang tak terlalu ramai siang ini menjadi tempat bertemunya Mya dan Herdi. Ada keuntungan saat jam makan siang Mya keluar kantor, ia bisa menghindari kecanggungan jika saja menghadapi Sakti, ia juga tak perlu banyak diam di depan teman-temannya saat resah mengusik pikiran.

Mya sudah memesan kopi yang biasa Herdi nikmati, ia cukup hafal sebab pernah tinggal serumah dengan pria itu sebelum memutuskan untuk mandiri dan tinggal di rumah peninggalan orangtuanya, Herdi seperti ayah bagi Mya, tanpa tedeng aling-aling. Ia masih menunggu Herdi yang katanya sudah di jalan, Mya membuka ponsel dan menemukan beberapa chat masuk dari Dewa, klasik saat bertanya tentang kabar Mya hari ini. Tumben sekali? Mungkin saja dinginnya sikap Mya pagi tadi membuat Dewa bertanya-tanya.

Mya tak membalas, dia hanya membacanya dan meletakan ponsel di sisi cangkir kopinya. Mya sontak beranjak saat mobil Herdi memasuki parkiran, ia hafal betul plat nomor kendaraan Herdi—yang kini turun dari mobilnya dan melangkah menghampiri Mya, pria itu berkacamata, tingginya seukuran Mya, usia Herdi sudah mencapai setengah abad meski rambutnya belum memutih sama sekali.

"Apa kabar, Om?" tanya Mya seraya meraih tangan kanan Herdi dan mengecupnya.

"Baik, My. Akhirnya ketemu kamu juga." Herdi duduk di sebelah Mya, ia tersenyum menatap kopi yang sudah terhidang di meja. "Masih tahu aja ya kopi kesukaan om."

"Masa lupa sih, kan belum pikun," tutur Mya sedikit bercanda, Herdi berhasil menjadi satu-satunya alasan mengapa Mya harus tersenyum di hari yang membuatnya begitu berkabut, Herdi seolah membawakan sinar matahari untuk Mya agar cerah menyingsing di sana.

"Bener banget, kalau udah mulai pikun kayak om—sering lupa taruh dompet sendiri di mana, iya kan?" Herdi menyeruput kopi yang kini mengisi lambungnya. "Lama juga ya, My. Dua bulan enggak ketemu kamu, Mya benar baik-baik aja kan?"

Senyum Mya lesap, ia merasa pertanyaan Herdi seolah baru menelisik sesuatu yang salah dalam diri wanita itu, apa Herdi mengerti kegundahan yang tengah Mya rasa seorang diri?

"Mya baik-baik aja kok."

"Rumah tanggamu?"

Lagi, Herdi mulai membuka satu per satu jengkal kehidupan baru Mya tanpa ada sang paman di dalamnya, sebelum pernikahan ini banyak pesan yang Herdi sampaikan, Mya takkan lupa itu. Salah satunya adalah bercerita saja jika memiliki masalah, terbuka saja. Bukan ingin Mya untuk diam, hanya saja masalah rumah tangga lebih layak diselesaikan berdua, lucunya ia tengah mencicipi masalah itu sendiri tanpa mengatakan apa-apa pada Dewa.

"Rumah tanggaku baik-baik aja kok, Om." Mya tersenyum getir. Benar ya, berbohong seringkali menyenangkan untuk dilakukan, sebab menutupi sesuatu yang tak perlu diketahui orang lain, akan ada alasan mengapa manusia menyimpan masalah untuk dipeluk erat sendiri tanpa sudi berbagi. Tidak segala hal bisa diumbar, sebab bukan sebuah kabar.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang