PULANG.

11.4K 1K 77
                                    


Kasih vote yang banyak ya biar bisa double up ^^

"Makasih ya udah dianterin, hati-hati di jalan, Sak." Mya melambai tangan saat mobil yang dikemudikan Sakti mulai melaju pergi, senyum simpulnya berhasil muncul kali ini.

Bagi Sakti, pelangi mungkin hanya datang padanya saja—saat tiada hujan, guntur nan pongah di langit atau apa pun itu yang tiba-tiba membawa perubahan dalam sekedip mata. Orang lain tak perlu merasa, cukup ia saja. Wajah berseri-seri ditemani rona cerry di pipi terus ia perlihatkan hari ini, jelas berbeda dari kemarin. Tiba-tiba waktu baik datang padanya—ketika kemarin seperti diselimuti awan abu-abu, lantas hari ini bisa dimabuk rindu.

Siapa yang tak senang jika sikap Mya kembali seperti dulu? Di mana semua perhatian hanya Sakti yang dapatkan, di mana ia bisa mengantar Mya pulang serta melempar tawa di setiap pertemuan. Baiklah, Sakti serius tak sedang bermimpi, ia juga tak meneguk setetes pun alkohol yang membuatnya berimajinasi. Semua fakta, nyata.

Mya ada di depan rumahnya, bukan apartemen. Sebuah kantung besar bergambar lebah berada dalam genggaman, tadi sebelum kakinya menapak selasar halaman—ia meminta Sakti menemaninya ke minimarket lebih dulu sekadar membeli camilan untuk mengisi kulkas kosong yang berhari-hari ia tinggalkan.

Mya perhatikan sekitar, beberapa kendaraan lewat di jalanan depan rumahnya, tapi rumah-rumah lain tampak sepi—seperti biasa. Ia memang tak membawa koper serta pakaian yang ditinggalkannya di apartemen, tapi masih tersisa pakaian lain di almari kamar. Ia hanya ingin tenang malam ini, tak perlu melihat rupa laki-laki itu lagi.

Mya memang salah, tapi terserah.

Ia membuka gerbang rendah di depannya sebelum melangkah perlahan seraya tatap halaman rumah minimalis itu, tanaman yang ia tinggalkan masih utuh. Jika ia bisa mendengarnya, mungkin mereka semua tengah sibuk meronta-ronta meminta sepercik air jatuh menyapa.

Mya memasuki rumah, ia nyalakan tiap lampu dari ruangan yang dilewatinya hingga tiba di dapur dan meletakan kantung tadi di permukaan meja makan. Ia keluarkan sekaleng softdrink dingin sebelum meneguknya sedikit. Seenggaknya, Wa. Di tempat ini masih terasa hangat, masih banyak yang membuat aku tenang, tanpa ada nama kamu tentunya.

Kemarin, semua terasa hampa dari sebelumnya, Mya ingin lenyap segera. Tiada percobaan bunuh diri kedua, konyol juga ia mencoba tenggelamkan diri di bathup, mengapa Mya tak pergi ke tebing dan melompat dari sana—biar ia menjadi makanan hiu di lautan lepas, mungkin besok. Jika Dewa membisu, biarkan Mya juga membeku. Tiada kopi panas serta setangkup roti tawar berselai di pagi hari, Mya merasa ia memang masih hidup sendirian tanpa ada Dewa di dalamnya. Jika mereka tak bertemu, mungkin Mya masih miliki sedikit harapan. Ya, ia masih miliki kotak pandora—yang bisa dibukanya kapan saja.

Guyuran air shower cukup merelaksasikan seluruh penat yang dibawanya pulang hari ini, di kamar mandi itu ia kembali mengurai rindu dari tiap-tiap sudut rumah satu lantai yang selalu dianggapnya sebagai istana terbaik.

"Bu, kenapa rambutku nggak pernah panjang?" tanya Mya seraya menatap pantulan wajah di cermin, ia duduk di balik meja rias kamar sang ibu saat wanita di belakangnya sibuk menyisir rambut lurus sebahu milik Mya. Sebuah bandana baru saja terpasang, wajah kuarsa nan polos menjadi semakin menggemaskan.

"Nggak apa-apa, ibu cuma nggak suka kalau Mya selalu lepas ikat rambut waktu itu. Nanti rontok rambut Mya, pendek juga Mya-nya ibu tetap cantik." Wanita itu mengecup puncak kepala putri kecilnya, mereka sama-sama menatap cermin seraya tersenyum. "Lihat, Mya cantik, kan? Besok panjangin rambut kalau Mya siap merawatnya, ya?"

"Kalau besar Mya panjangin, ya, Bu."

Mya tersenyum seperti saat itu, di balik meja rias kamar mendiang sang ibu seraya menyisir rambut yang kini benar-benar panjang. Meski wanita itu telah pergi cukup lama, Mya tak pernah menutupi barang-barang di kamar ibunya menggunakan kain. Saat ia memutuskan tinggal lagi di sana usai menenangkan diri di rumah sang paman—ia mulai semuanya dari awal lagi, Mya selalu bersihkan kamar orangtuanya dan melakukan kebiasaan sederhana sejak ia kecil—duduk di balik meja rias sang ibu seraya menyisir rambutnya sendiri. Semakin panjang rambutnya, semakin banyak cerita yang ia lalui.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang