AKTOR TERBAIK.

11.9K 1K 24
                                    


Di balik sofa perempuan itu bersila seraya menikmati kripik kentangnya, laptop yang tergeletak di permukaan meja tampilkan beberapa file penting berisi pekerjaan Mya, entah mengapa perempuan itu tak ingin lepas tanggung jawab meski tengah melakoni cuti, untung saja ia miliki alasan yang pas—sampai diizinkan cuti selama lima hari ke Barcelona meski harus menggunakan kebohongan, tapi kebohongan seperti menjadi bagian hidup Mya akhir-akhir ini, munafik jika ia tak mengakuinya. Meski benak tersiksa, tapi bibir tak mampu berkata sejujurnya.

Sekitar satu meter di belakang sofa, sebuah ranjang besar king size berada, seprai putih serta bantal-bantal empuk nan harum tersedia di sana, hanya saja Mya tak sudi bergumul seranjang dengan laki-laki yang mungkin tengah memikirkan kekasihnya saat ini, terbukti dari tingkah laku Dewa sedari tadi mondar-mandir di dekat jendela seraya tempelkan ponsel di telinga, beberapa kali terdengar decakan dari Dewa, ia terlihat kesal.

Terserah, Mya tak ingin mengusik Dewa dan sebaliknya, mereka miliki urusan masing-masing yang jelas lebih penting dari apa pun, bahkan lebih penting dari pasangan sebenarnya. Mya tampak mengangkat panggilan dari Melody saat dering ponsel baru saja terdengar. "Iya, Mel? Jadi, gimana peluncuran produk barunya? Sukses, kan?"

Ting-tong-ting-tong!

Mya tak mengidahkan bel di luar kamar yang berbunyi, ia tetap menikmati pembicaraannya dan membiarkan Dewa yang membuka pintu. "Gracias," ucap Dewa usai menerima sebuah nampan berisi tiga menu makanan yang berbeda serta dua gelas minuman berwarna kuning, ia tutup pintu sebelum letakan nampan itu di permukaan meja, berdekatan dengan laptop Mya. Saat perempuan itu akhiri panggilannya dengan Melody, ia mengernyit tanggapi aneka menu di meja.

"Kamu yang pesan?" Mya menatap Dewa saat laki-laki itu duduk di sampingnya, sisi positif dari bulan madu mereka ke Barcelona adalah seringkali keduanya memangkas jarak tanpa canggung lagi, kaca tebal yang membatasi seolah runtuh perlahan, Dewa seperti tak segan untuk berada di dekat Mya.

"Makanan, lah. Dimakan ya, semuanya."

"Semua? Kamu nggak salah? Mana bisa aku habisin semua, aku belum pernah cobain ini." Mya singkirkan kripik kentang dari pangkuan, ia membungkuk seraya raih gelas berisi air warna kuning. "Ini apa?"

"Itu semua menu khas Spanyol, kalau lo ke sini artinya wajib coba, kan? Itu yang lo pegang namanya clara de limon, gampangnya air bir yang lo kasih potongan lemon, percis, kan?" Dewa angkat gelas lain sebelum mengajak Mya bersulang tanpa aba-aba. "Cobain dulu, nanti suka." Sayangnya, Mya tak melakukan perintah Dewa, ia justru letakan gelas itu di tempat semula.

"Kamu paham banget sama tempat ini." Perkataan Mya lebih terdengar mencibir.

"Bukannya bagus." Dewa tersenyum miring menyanggah perkataan istrinya. "Jadi, lo nggak perlu cari tour guide di tempat ini."

Mya manggut-manggut. "Terus, nama menu di tiga piring itu apa?" Ia terlihat begitu polos.

Dewa meraih satu per satu piring seraya menjabarkan nama makanan khas dari Spanyol tersebut. "Ini tigres, makanan berbahan dasar seafood yang udah dihaluskan, terus dicampur sama bumbu khusus, gue nggak mau tahu bumbu apa itu, yang penting enak. Kalau yang ini pan cone tomate, bahan dasarnya cuma tomat sama roti, tapi paling diburu wisatawan. Terakhir, ada ...." Dewa meraih satu iris dari makanan yang bentuknya mirip pizza itu, tanpa canggung ia mendekatkannya ke bibir Mya, mengajak perempuan itu agar buka mulut. "Ini tortilla espanola, bahan bakunya dari telur sama kentang, kaya karbohidrat, lo kalau cuma makan ini mungkin kenyang, secara badan lo aja kecil." Tangan Dewa masih bertahan di sana, tapi Mya tak kunjung membuka mulut, perempuan itu enggan, ia rebut saja potongan tortilla dari tangan Dewa dan menyuapkannya sendiri ke mulut.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang