DALAM DEKAPAN SUNYI.

13.4K 1.2K 42
                                    


Seseorang terus saja mengetuk pintu dari luar, tapi ia juga berhak untuk tak membukanya, mengunci rapat benda itu dari dalam saat ia sibuk masukan semua barang-barangnya ke koper termasuk lukisan yang baru dibelinya kemarin, ia sudah muak berada di Barcelona, jelas bukan tempat yang cocok untuk Mya, soal tempat berkesan? Mya akan mengurusnya nanti jika rasa sakit yang semakin mengakar sudi dipangkas, kali ini ia hanya ingin cepat sampai di rumah dan jauh-jauh dari sepasang manusia yang terus mendesak separuh jiwanya agar melompat dari tebing.

Kamera polaroid yang terakhir ia letakan di atas tumpukan pakaiannya, setelah itu Mya tarik resleting koper hingga menutup sempurna, ia turunkan benda itu dari ranjang sebelum raih sling bag di meja dekat sofa, perempuan itu sudah memikirkannya semalaman, ia bahkan sengaja reschedule jadwal kepulangannya ke Jakarta yang harusnya baru besok, jadi hari ini Mya akan pulang sendiri tanpa siapa-siapa yang harusnya ikut pulang bersamanya, tapi untuk apa Mya bertahan di sana jika sang suami putuskan memilih perempuan lain, ia tak sudi menjatuhkan harga dirinya lebih sering lagi.

Urusan berbenahnya telah usai, ia tarik koper besar itu hampiri pintu, memutar kunci hingga akhirnya pintu bisa dibuka, seseorang di depan pintu mungkin bisa menarik napas leganya sejenak—sebelum detik berikutnya ia kembali tegang usai temukan istrinya menarik koper keluar kamar.

"Lo mau ke mana?" tanya Dewa, sayangnya Mya enggan menjawab, menatap wajah laki-laki itu pun ia tak sudi lagi, Mya terus melangkah seraya tarik kopernya di koridor hotel, persetan dengan bedebah semacam Dewa yang justru membeku seraya menatap kepergiannya. Tanpa perlu menjelaskan seharusnya Dewa sudah mengerti isyarat yang Mya berikan, terlebih ia sudah akhiri skenario mereka di Barcelona sejak semalam.

Dewa masih miliki sedikit usaha saat ia terus hubungi nomor ponsel istrinya, tapi tak sekalipun dijawab, bahkan setelahnya Mya nonaktifkan ponsel agar tak ada siapa pun berhak mengusik perjalanan pulangnya. Dewa mulai khawatir, ia putuskan berlari menyusuri koridor hingga tiba di lift, tapi Mya sudah tak ada lagi di sana. "Kenapa dia musti ngelakuin hal sekonyol ini, dia nggak mikir dia pulang sendirian? Dia nggak mikir keselamatannya sendiri, huh!" Dewa tampak frustrasi saat ia bicara sendirian di dalam lift, begitu berhenti ia buru-buru keluar seraya edarkan pandang ke lobi hotel, untung bola matanya menemukan sang istri dengan cepat.

"Mya! Tunggu, Mya!" seru Dewa begitu dapati istrinya melangkah keluar dari pintu masuk lobi, ia berlari di antara banyaknya orang yang berlalu lalang di sana, bola mata Dewa hanya berfokus pada punggung kecil sang istri. "Mya!"

Perempuan itu mendengarnya, tapi ia keukeuh untuk tak menoleh meski sebuah tangan berhasil menarik lengannya dari belakang, menggagalkan langkah Mya lebih jauh lagi.

"Mya, jangan pergi," tutur Dewa begitu langkah istrinya terhenti oleh tarikannya.

"Kenapa aku nggak boleh pergi? Apa aku masih layak ada di sini, Wa? Menonton kamu sama perempuan lain? Apa aku udah nggak waras lagi?" Di balik irisnya tersimpan amarah yang besar, seharusnya Mya bisa menumpahkan, tapi di Barcelona ia tak miliki apa-apa sebagai alat agar membuat Dewa mengerti keinginannya.

"Kalau lo mau pulang, kenapa nggak bareng sama gue? Ini Barcelona, lo tahu apa di sini, lo—"

"Aku emang nggak tahu apa-apa, Wa! Tapi, lebih baik tersesat daripada melihat kamu sama orang lain, apa itu salah? Saat kamu berdiri di ujung tebing, di mana kamu harus memilih antara terjun ke laut atau ditembak mati sama perampok, mana yang kamu pilih? Sekalipun konsekuensinya sama-sama mati, tapi aku lebih baik terjun dari tebing ketimbang membiarkan orang lain membunuhku, Wa."

"Mya, sumpah gue semalam nggak ada maksud buat kayak gitu, gue dilema—"

"Untuk seorang istri pun kamu merasa dilema? Aku pikir kamu udah cukup dewasa buat mengerti mana yang baik dan salah, karena kamu udah memilih dia, biar aku yang mundur, biar aku pulang dan tenang, kamu bisa gantikan posisiku sama dia di sini. Kamu nggak ingat begitu bangganya kamu waktu bilang kalau Marisa bakal ke sini, kan? Sekarang lihat, dia benar-benar datang buat kamu, Wa."

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang