SEPI DAN SENDU.

11.4K 820 9
                                    


Pernah seseorang menempa perasaanya, setiap hari, memupuk rasa percaya bahwa esok pasti dibalas bahagia, tapi berakhir sia-sia. Terkadang peliknya ekspektasi membuat gila, terutama saat luka menjadi belanga.

Pernah jatuh cinta, tapi menjadi patah lara, lantas berlomba-lomba mengikis luka, dinikmati sendiri hari demi hari seperti serangkai puitis yang menjelma sepi.

Sakti juga pernah, ini tentang laki-laki yang patah, laki-laki luka yang sempat tertawa sebab tergoda jatuh cinta. Kini ia sibuk meremat sepasang jemarinya, menatap pantulan rembulan yang lagi-lagi mengapung di permukaan jelaga.

Sakti menyadari maksud keterdiamannya akhir-akhir ini, ia merasa resah untuk menumbuhkan lagi rasa percaya terhadap seseorang, isi pikirannya membuncah. Orang yang jatuh cinta itu bodoh, sebab konsekuensi patah hati seringkali diabaikan dan berakhir menjadi sesal, lantas marah karena keinginanya di luar perkiraan. Cinta bukan cuaca—bilamana langit mengabu dengan sengatan petir menghantam langit semua orang bebas menerka sebentar lagi air hujan turun, cinta adalah suasana—yang seringkali berubah-ubah setiap waktu tanpa peduli siapa kamu.

Ia mendesah, prahara patah hati telah menyapa, Sakti juga sudah menerima, agenda berikutnya adalah cara agar cepat lupa. Sayangnya, ia belum bertemu tentang bagaimana yang pas untuk hal itu. Pagi tadi saat Mya tiba-tiba memprotes keterdiamannya akhir-akhir ini membuat Sakti tersadar betapa menyedihkannya laki-laki ini, padahal waktu tak pernah mengalah untuk mengajak siapa-siapa mundur, yang perlu Sakti lakukan adalah terus maju dan berdamai dengan patah yang jangan sampai diabadikan. Ini bukan kenangan, tapi sabar yang harus dilapangkan. Sebab memulai jatuh cinta waktunya tak semudah patah hati.

Ia memutar tubuh menghentikan lamunannya, tak bisa setiap malam seperti ini, berdiri di depan kolam renang seraya memikirkan patah hati yang tak berkesudahan itu, untuk apa Sania memberinya nama Sakti ketika bayi—jika si pemilik nama tak memanfaatkan fungsinya dengan baik. Come on, Sakti. You're strong boy!

Sakti membawa pergi sepasang kakinya menapak selasar, memasuki rumah dan meninggalkan angin yang sempat berbisik tentang sepi dan sendu. Sepasang kaki yang bergerak membawanya menemukan Sania di depan pintu kamar, menatap Sakti dengan guratan senyum dari sudut ke sudut.

Ini adalah obat paling mujarab.

"Ma, ada yang perlu aku bicarakan," ucap Sakti setelah menempa keyakinan dalam benaknya, apa pun tanggapan Sania nanti—ia siap. Sakti masih memiliki harga diri dan akal sehat, ia tak bisa meneruskan perasaannya pada istri orang lain.

"Oh, iya boleh. Sambil minum teh ya, Sak. Mama buatkan dulu."

"Iya, aku tunggu di belakang." Laki-laki itu kembali menarik kaki-kakinya menghampiri area kolam renang, tapi bukan untuk menatap pantulan rembulan yang tak mungkin menghampirinya, jika memeluk rembulan adalah sesuatu yang mudah, maka segala hal bisa didapatkannya tanpa bersusah payah.

Sakti duduk di sofa beranda, menunggu hingga Sania datang membawa teh yang ia janjikan, setoples nastar serta dua cangkir teh yang kini terhidang di meja menjadi pertanda Sakti mengawali kisah kegagalannya yang pertama. Ya, jatuh cinta terhadap Mya tak pernah sepanjang ini, terlebih hadirnya berkali-kali.

"Mau bicara apa, Sak? Kayaknya penting, kamu tegang ya?" Sania dapat membaca kegugupan di wajah sang putra.

Sakti meremat tangannya, ia tersenyum kecut. "Ini soal Mya, Ma."

"Mya? Kenapa dia? Mau main ke rumah ya?" Wanita ini masih tenggelam untuk segala ingin yang belum dituntaskan.

Sakti menggeleng. "Bukan, mending Mama jangan berharap soal Mya lagi ya, karena itu enggak mungkin, Ma."

"Kenapa?"

"Mya udah ...." Sakti menelan ludah, kalimat yang seharusnya terlontar seakan tertahan di kerongkongan.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang