PENGAKUAN SELANJUTNYA.

11.7K 998 66
                                    


Kalo minta 50vote buat chapter selanjutnya boleh? Aku tau kamu semua kan baik banget ^^

***

"Kalau gitu Mya izin pamit pulang ya, Tante. Semoga lekas sembuh," izin Mya sebelum kedua pipi serta keningnya dikecup lembut oleh Sania, wanita itu sandarkan tubuhnya di bahu ranjang seraya berselonjor kaki tanpa lupa berbalutkan selimut. Mya melambai tangan saat melangkah mundur keluar dari kamar Sania, rasa lega bersarang membuat Mya cukup nyaman, hanya saja ia gugup kali ini sampai buru-buru ingin pulang. Jika saja Dewa tak keukeuh menunggunya di luar gerbang, maka Mya bisa lebih lama berada di sana—seperti keinginan Sania, tapi ia takkan enak hati membiarkan Dewa menunggunya lebih lama meski sang suami tak berbicara apa-apa.

Mya melangkah bersisihan dengan Sakti menuju beranda, sejak Sakti melihat Mya turun dari motor Dewa di depan gerbang setengah jam lalu—ia lantas bungkam seribu bahasa begitu Mya menyapa, hanya seulas senyum tipis yang dipaksa. Biasanya Sakti akan mengajaknya bicara atau ikut menemani saat Mya berbicara dengan ibunya, tapi kali ini sikap laki-laki itu seakan asing.

"Aku balik dulu, ya, Sak. Semoga mama kamu lekas sembuh." Mya tersenyum tipis.

"Ya, hati-hati di jalan." Tatapan Sakti bukan mengarah pada Mya yang kini melangkah di pelataran hingga melewati gerbang dan menemukan Dewa yang masih bertengger di motornya, netra Sakti justru terus perhatikan gerak-gerik Dewa sejak Mya menemui Sania di kamar wanita itu. Sakti berdiri di balik jendela lantai dua seraya diam mengamati Dewa layaknya secret admirer yang mengintai tanpa diketahui siapa-siapa.

Sakti mendesah begitu motor melaju pergi membawa Mya kian jauh, jika saja tak ada Dewa—mungkin Sakti bisa lebih leluasa. Kepalan tangan kiri Sakti menyentuh permukaan tembok di sebelahnya, ia mulai frustrasi mengikuti arus cerita yang rumit ini, ia mulai tak tahan dengan segala situasi yang terpaksa dijalankan. Jika bisa, Sakti ingin merangkai takdirnya sendiri—di mana tak ada nama Dewa yang menjadi pemisah antara ia serta Mya. Egois bukan masalah, setiap orang memiliki benih keegoisan yang siap tumbuh kapan saja.

Motor tetap melaju lambat saat hawa dingin kian menyeruak, beruntungnya awan mengabu yang digantikan pekat sama sekali tak luncurkan hujan, hanya saja sejuknya angin berkali lipat, secangkir kopi harusnya cukup menjadi penghangat—terutama dari mereka yang memutuskan tetap di rumah saja ketimbang melakoni aktivitas out door.

Saling membisu, mereka tengah berlomba-lomba memenangkan kejuaraan itu, siapa yang buka suara lebih dulu—jelas ia yang kalah. Sejak motor melaju tiada lagi kalimat mengudara, hanya pias bola mata saat satu atau lainnya saling mengincar spion—memperhatikan keadaan lawan.

"Mau makan apa?" Rupanya Dewa yang kalah, ia lirik Mya lewat spion.

"Makan? Apa?" Mya skeptis seperti tak menyangka Dewa akan menanyakan hal itu, bolehkah ia menyebutnya sebuah perhatian?

"Iya. Makan apa?" Dewa mengulangnya takut-takut sang istri kurang jelas mendengar. "Di sekitar sini ada banyak kafe buat nongkrong kok."

"Eum—" Mya celingukan, ia tampak berpikir. "Gimana kalau beli aja, tapi dibungkus bawa pulang."

"Ya udah."

***

Dua styrofoam berisi masing-masing bolognese terhidang di meja ruang tamu, Mya belum sempat mengganti pakaian kerja, ia hanya melepas flat shoes yang kini beralih menjadi sandal japit. Dewa sendiri berada di kamar—tengah mengganti pakaiannya saat sang istri sibuk menata makan malam mereka di ruang utama, bukan meja makan lagi.

Mya duduk di sofa seraya condongkan tubuh saat ia sibuk mengaduk pasta serta sausnya menggunakan sumpit, Dewa keluar hanya kenakan celana pendek serta kaus oblong yang perlihatkan otot di bagian lengan. Dewa meraih softdrink di permukaan meja sebelum duduk di samping Mya seraya perhatikan aktivitas kecil sang istri. Mya geser bolognese yang sudah siap santap di depan Dewa, kini ia mengaduk miliknya sendiri.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang