DIPAKSA MENYERAH.

15.2K 1.2K 80
                                    


"Om tahu tentang honeymoon ke Barcelona yang direncanain sama ayahnya Dewa?" Mya duduk di tepi ranjang, jendela kamar sengaja ia buka meski pekat malam kian merangkak. Satu tangan memegang ponsel yang kini menempel di telinga, tangan lain memijat kening yang terasa berdenyut.

"Iya, om tahu. Kamu udah oke, kan?"

"Aku—" Mya mendengkus, tak mungkin ia mengaku tak setuju, hanya Dewa dan Mya yang tahu hubungan rumit mereka. "Ya, Mya setuju aja, Om. Tapi, kenapa harus sekarang-sekarang ini? Urusan Mya di kantor banyak, apalagi mau ada peluncuran produk baru, nggak mungkin Mya lepas tanggung jawab." Perempuan itu benar-benar ingin lepas dari rantai besi yang menjerat lehernya.

"Mya, pasti ada staf lain yang bisa urus pekerjaan kamu, nanti. Apa perlu om ke kantor dan minta izin langsung ke bos kamu?"

Refleks Mya mendelik dan berdiri. "Nggak usah, Om! Mya bisa urus semuanya kok, nggak usah ke kantor." Ia pikir berbicara dengan Herdi—adik kandung sang ayah—bisa mengurangi beban pikiran, nyatanya justru menambah beban pikiran, membuat kepala Mya terasa semakin berat saja. Jika tak ada manusia yang bisa Mya ajak bicara, apa ia harus mengatakan kegelisahannya pada tembok kamar? Atau pada deretan pot kaktus miliknya? Ia mulai gila.

"Ya udah, Om. Maaf ganggu waktunya, Mya mau istirahat sekarang." Ia akhiri panggilan itu, kembali duduk di tepi ranjang sebelum rebahkan tubuh seraya tatap langit-langit kamar. Ia tahu tak mungkin bisa mundur dari sesuatu yang harus dilakoninya esok hari, semua telah dipersiapkan tanpa sepengetahuannya serta Dewa, jika Dewa tahu—bisa jadi acara bulan madu itu diundur atau bahkan tak pernah ada, mereka tak bisa menyusun skenario penipuan untuk saat ini, mereka harus melakoni skenario yang disiapkan orangtua Dewa, lalu berpura-pura menjadi sepasang suami istri yang harmonis.

Tok-tok-tok!

Jarum jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, tapi seseorang masih bisa mengetuk pintu kamar Mya sekarang. Perempuan itu beranjak tinggalkan ponsel di permukaan ranjang, ia buka pintu tanpa rasakan terkejut saat melihat Dewa berdiri di depan pintu, lagipula tak ada makhluk selain Dewa yang tinggal satu flat dengannya, bukan?

Mya tatap datar sang suami, mereka bertukar pandang untuk beberapa saat sebelum Dewa mendengkus alihkan pandang. "Gue yakin lo tahu apa yang gue pikirin, kan? Lo tahu masalah besar yang kita hadapi, kan?"

"Kamu berharap apa sekarang, mundur? Kalau aku bisa mundur, aku akan ada di urutan pertama, Dewa. Jadi, jangan merasa kamu yang paling sulit di sini. Posisi kita sama." Setelah itu Mya menutup pintu tanpa mengidahkan Dewa yang masih berdiri di sana, ia seperti mengusir paksa tanpa berkata.

"Argh!" Dewa menendang pintu kamar Mya sekadar menyalurkan rasa kesalnya, ia juga pusing bukan main menghadapi situasi itu. Berdua dengan Mya ke Barcelona? Jika nama Mya diganti Marisa, dengan senang hati Dewa berangkat sekarang tanpa perlu berpusing-pusing ria. Nasi sudah menjadi bubur, mereka hanya perlu menghadapi apa pun yang terjadi di Barcelona nantinya. Jika mereka mundur—sama saja mengizinkan Paramitha tinggal di apartemen, hanya ada dua kamar, jadi jika Paramitha datang—maka Dewa harus sekamar dengan Mya, bukankah lebih mengerikan lagi?

Sebuah penipuan besar memang membuat si pelaku alami ketakutan berlebih, kecemasan tak keruan. Nyatanya, Dewa yang memutuskan kekeliruan itu sejak awal, ia yang merencanakannya dan memaksa Mya setuju. Kenapa tak ada cinta? Kenapa tak bisa merajut tali kasih? Kenapa mereka harus menjadi sepasang asing yang dipertemukan tanpa tahu caranya memulai sebuah peluang.

Mya tak peduli dengan suara gaduh yang baru saja ia dengar, jika Dewa ingin membanting seluruh barang-barang di apartemen itu karena amuk yang memuncak pun Mya tak masalah, atau bila Dewa ingin meruntuhkan apartemen maka Mya hanya akan mengedik bahu.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang