CINCIN TANPA ARTI.

56K 2.4K 77
                                    

Tirai putih tulang di tepian jendela geser kamar sebuah apartemen bergerak bebas mengikuti ritme bayu yang menyapanya setelah si tamu membuka jendela setengah jam lalu, langit tampak mengabu tanpa suara guntur yang menggebu—membiarkan atmosfer kesunyian kian terasa, memeluk jiwa begitu liarnya saat semesta tahu bahwa ia sendiri entah berhak memiliki siapa. Harusnya Mya tahu, tapi ia ingin menutup kehidupannya hari ini—jika saja semua itu mudah dilakukan tanpa perlu menggantung seutas seprai pada balok di langit-langit pintu dan berakhir di sana, Mya hanya sadar dan berharap jika kehidupannya mungkin masih panjang, ia harap begitu.

Rambut hitam legam panjang dengan ujung curly yang menjadi mahkota indah perempuan 24 tahun itu rupanya sudah termakan rayuan sang bayu, ia ikut menari seperti gerakan tirai tak jauh di belakangnya, meski beberapa helai menyentuh wajah, tapi tangan-tangan kurus pemiliknya sama sekali tak menepikan, ia justru terpejam mencoba rasakan sesuatu yang terus mendobrak dalam dada, begitu membuatnya menggelepar. Mya merasa seperti kupu-kupu yang mencoba keluar dari dalam toples, sia-sia saat penutupnya begitu keras, ia tak tahu tangan siapa yang kelak membebaskannya, sekarang semua rangkai dalam pikir Mya begitu buram.

Tangan kanan perempuan itu terangkat tak jauh dari wajahnya, sepasang iris menatap lekat sesuatu yang melingkar dalam jari manisnya, begitu cantik di antara ruas jemari tengah dan kelingking. Kapan ia mendapatkannya? Kemarin, saat acara pemberkatan di gereja berlangsung, setelah beberapa orang yang tak melebihi dua puluh menjadi saksi pernikahan mereka, lantas hari ini Mya miliki alasan yang pas mengapa dua koper besarnya masih teronggok di dekat pintu kamar yang terbuka.

Kehidupan setiap orang berputar seperti roda, Mya tahu itu, tapi tentang sebuah kanvas polos yang tiba-tiba dipoles oleh rangkaian warna—ia tak tahu bagaimana, Mya mulai tak menyukai sebuah lukisan—sebut saja sejak arah angin berubah beberapa waktu lalu, kini rumit baginya, polesan-polesan warna begitu samar diartikan.

Kerongkongan tampak menelan sesuatu, anggap saja pil biru pahit yang harus Mya nikmati getirnya 24 jam dalam seminggu. Ia tersenyum kecut kali ini, tangan lainnya ikut terangkat melepas pelan lambang pernikahan yang harusnya menjadi arti besar dalam hidupnya. Ya—arti besar yang ingin Mya pahami setelahnya, tapi ia belum bisa menemukan perihal mengapa, sebab ia telah putuskan menyudahinya sebelum mengawalinya.

"Mau saya bantu beres-beres, Non?" Bak suara guntur, pertanyaan sederhana dari suara bernada pelan itu mampu pecahkan ilusi Mya kali ini. Perempuan berambut panjang itu menoleh dapati sosok wanita paro baya berdiri di ambang pintu kamar, Bi Asih sudah mengetuk pintu berulang kali, tapi ilusi Mya lebih bertahta kali ini.

"Ibu ini siapa, ya?" Mya beranjak seraya masukan cincin pernikahannya pada saku celana katun hitam yang ia pakai, langkahnya mendekat pada Bi Asih.

"Saya pembantu di rumahnya Mas Dewa, tadi Pak Cokro sendiri yang meminta saya kemari—untuk membantu Non Mya beres-beres di apartemennya Mas Dewa ini," jelas Bi Asih, karakternya terlihat lembut, belum lagi ukiran lengkung dari wajah yang tampak menua dengan sebagian uban menggantikan mahkota hitam di sana.

"Oh." Mya manggut-manggut, ia lirik koper miliknya—padahal niat hati tak ingin berbenah sama sekali. "Bibi bisa beres-beres ruang lain aja, saya bisa urus kamar saya sendiri kok."

"Lho—kok kamar sendiri, nggak satu kamar sama Mas Dewa?" Tanda tanya seperti menari-nari di kepala Bi Asih, belum lagi gerak-gerik bola mata seperti mengintimidasi Mya.

Bi Asih atau siapa pun takkan tahu perjanjian mereka, rumit dan pelik. Mya tersenyum tipis berusaha menyembunyikan kekeliruan yang ia timbulkan dalam benak wanita di hadapannya. "Iya, kamar saya sama Dewa. Bibi berbenah aja di tempat lain, saya mau istirahat sebentar."

"Mau dibuatin minum, Non?"

"Nggak usah."

"Bibi permisi dulu, ya." Ia menarik kenop pintu hingga benda persegi panjang dengan posisi vertikal itu tertutup sempurna.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang