UNGKAP MENARIK DEKAP.

10.9K 1K 49
                                    


Tolong dong komen, kalian di chapter sebelumnya enggak komen ^^

Lukisan sudah siap di permukaan meja ruang tamu, ia terbungkus rapi di dalam shopping bag berukuran besar, jika hanya menemui Sakti pastinya Mya tak perlu repot-repot berdandan agar ia terlihat lebih layak, tapi malam ini ia akan menemui Sania—ibunda Sakti, jadi Mya sedikit memoles wajahnya serta kenakan sebuah dress.

Mya beranjak setelah merasa persiapannya sudah cukup, ia memutar tubuh raih crossbody bag hitamnya di ranjang, saat hendak kenakan flat shoes Mya berkedip beberapa kali, ia menerawang memikirkan sesuatu. Kayaknya ada yang salah.

Perempuan itu kembali mematut diri di depan cermin almari, dari ujung ke ujung semua tampak jelas, Mya perhatikan lagi setiap penampilannya sampai tangannya terangkat menyentuh tulang selangka yang terlihat jelas, bagian dada juga terpampang nyata. Benarkah Mya harus sampai seperti itu? Ia tak mungkin berkencan dengan Sania, kan?

"Lain kali jangan pakai blouse yang ini, ya. Tank top lo jadi kelihatan," tutur Dewa mengakui sesuatu yang baginya tak pantas dilihat orang lain, "lo nggak mau kan orang lain berpikir yang macam-macam pas lihat lo dari atas sampai bawah? Kasus pelecehan di Indonesia bisa semakin tinggi." Dewa berikan helm pada Mya.

Ingatan Mya tentang koreksi Dewa hari itu seperti mendengung di telinga, ia menggeleng menyadari semua yang berlangsung kali ini tak seharusnya, Mya kembali buka almari, ia keluarkan beberapa pakaiannya yang lebih tertutup. Mya akan ganti dress yang pamerkan tulang selangka serta leher jejangnya dengan kain yang lebih layak, tiba-tiba saja keraguan itu muncul hingga benar-benar menjadi sesuatu yang wajib Mya koreksi. Memang tak ada Dewa di rumah, tapi status Mya sebagai istri seseorang masih berlaku.

Kenapa ya, Wa. Sekalipun kamu nggak ada, kenapa aku masih terus berusaha biar terlihat layak, biar semua pantas.

***

Taksi online yang ditumpangi Mya akhirnya menepi di depan gerbang tinggi rumah elite dua lantai milik Sakti, laki-laki itu hanya tinggal dengan sang ibu sejak ayahnya meninggal akibat diabetes dua tahun silam. Mya turun tanpa lupa keluarkan shopping bag berisi lukisan serta tote bag berisi cheesecake kesukaan Sania. Usai perempuan itu membayarnya taksi melaju pergi, Mya sendiri keluarkan ponsel dari sling bag saat hendak hubungi Sakti.

"Aku di depan gerbang rumah kamu, ya, Sak." Panggilan berakhir detik berikutnya, seseorang di dalam rumah melangkah tergesa menuruni anak tangga dari beranda hingga tiba di halaman rumah yang cukup luas, kebanyakan perempuan pasti miliki hobi menanam bunga termasuk Sania sendiri. Kesibukannya di rumah seringkali merawat tanaman tanpa ingin menyewa tukang kebun, semua bisa dibuktikan dengan keadaan kebun di sisi halaman rumah yang begitu rapi dan bersih, beberapa tanaman tersusun rapi pada sebuah rak yang terbuat dari tralis besi, katanya jika seseorang semakin tua, tapi banyak bergerak—kemungkinan terlihat lebih awet muda, usut punya usut usia Sania sudah menginjak setengah abad. Siapa yang tak ingin menimang cucu di usia senja? Hanya saja putra satu-satunya justru masih betah melajang.

"Malam, Sak," sapa Mya begitu Sakti membukakan gerbang, memang tiada satpam untuk tiap-tiap rumah, hanya satpam komplek yang sering keliling kala malam menghunjam sekadar mengecek keamanan.

"Malam, My. Ayo masuk." Sakti semakin sumringah tanggapi kehadiran perempuan itu, keduanya masuk ke sana, dari halaman ke beranda hingga tiba di ruang tamu. Tampak Sania baru menuruni anak tangga, rupa wanita itu masih tampak seperti perempuan usia tiga puluhan dengan kulit yang terlihat masih kencang, faktor lain adalah sebab Sania masih senang berdandan.

"Wah, ada Mya. Lama nggak ketemu." Sania mendekat, merangkul serta mengecup sepasang pipi Mya seperti biasa tiap kali mereka bertemu. "Mya bawa apa?" Sania lirik sesuatu di tangan Mya.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang