RUANG BERNAPAS.

12.2K 877 21
                                    


Marhaban ya Ramadhan teman-teman ❤❤
Alhamdulilah aku, kamu dan semua yang baca chapter ini bisa ketemu sama Ramadhan lagi, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya ya 🤗🤗

Jangan lupa vote sama komentarnya.

***

Ada yang selalu dipikirkan wanita bercelana katun abu-abu nan dipadukan dengan blouse putih yang bersembunyi di balik blazer warna senada, apa ia salah memilih warna pagi ini? Mengapa abu-abu juga menghiasi wajahnya, padahal lipstik red berry suda...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada yang selalu dipikirkan wanita bercelana katun abu-abu nan dipadukan dengan blouse putih yang bersembunyi di balik blazer warna senada, apa ia salah memilih warna pagi ini? Mengapa abu-abu juga menghiasi wajahnya, padahal lipstik red berry sudah menyentuh bibir Mya, tapi warna auranya seakan monokrom abu-abu.

Dewa selalu mengatakan kalau semua akan baik-baik saja, ia juga menegaskan siap datang siang nanti menemui istrinya di kantor untuk makan siang bersama—sebagai status seorang suami, dan bukan lagi ‘saudara’ yang seringkali didengar teman-temannya.

Hanya saja Mya masih belum bisa menggugurkan ketegangan yang terus mengitari kepala, mengikatnya erat sampai terasa pening di beberapa tempat. Ketika motor yang Dewa kemudikan sudah membawa mereka setengah jalan menghampiri kantor tempat Mya bekerja pun wanita itu selalu sibuk melamun, Dewa agak khawatir tatkala berkali-kali melirik spion dan menemukan tatapan sang istri kosong. Dewa harus bagaimana agar bisa menekan keraguan di benak Mya.

Tangan kiri yang sempat meremat setang kini meluruh menyentuh tangan Mya, menggenggamnya erat seraya terus menempel di perut Dewa, ia mengusapnya menggunakan ibu jari—berharap sedikit menggugurkan resah dalam diri sang istri lewat sentuhan kecil tersebut.

"Wa, kita puter balik aja yuk. Aku mau pulang aja."

Bahu Dewa merosot, ternyata keraguan istrinya sama sekali tak luntur, tapi justru kian tebal sampai menyerah seperti itu. Dewa menggeleng seraya melirik spion. "Enggak, My. Nggak boleh kayak gitu, nanti kapan selesainya? Kamu enggak sepenuhnya salah, semuanya cuma terlambat aja, kamu bisa jelasin—habis itu kelar. Kamu nggak perlu mendengarkan komentar orang lain yang bikin kamu ngerasa insecure, kamu itu Mya yang punya keputusan atas diri kamu sendiri, bukan aturan orang lain."

"Iya aku tahu, tapi kan—"

"My." Dewa memotongnya. "Berapa masalah yang kamu hadapi sebelum ini, seberapa pintar kamu lewati semua itu, yang namanya tupai lompat-lompat aja bisa jatuh kan. Coba kamu bandingin problem kita yang kemarin, lebih berat itu apa sekarang—waktu kamu harus menghadapi orang-orang?"

Mya menelan ludah, ia menemukan tatapan teduh suaminya pada spion, senyum yang Dewa perlihatkan membuat Mya membalasnya tanpa sungkan, kalau dipikir-pikir perkataan Dewa benar. Separah apa masalah-masalah yang dihadapinya sebelum hari ini? Ia sudah patah berkali-kali, tapi tetap sanggup mengokohkan keyakinannya agar bisa berdiri.

Coba ingat, seberapa tertekannya ketika ia mendapat vonis harus menikah dengan laki-laki yang tak ia cinta, jangankan mencintai, mengenal saja tidak, kalaupun mereka pernah bertemu—saat keduanya masih belum bisa mengucapkan nama sendiri dengan benar. Segalanya berbeda, tapi dipaksa menjadi sama dan terbiasa.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang