03.45 am.Stasiun Gambir benar-benar lengang, hanya segelintir manusia yang bisa Dewa temukan di tempat ini, tempat asing yang baru pertama kali didatanginya setelah ia dilahirkan ke dunia lebih dari dua puluh tahun silam, padahal kereta api di Jakarta sudah menjadi salah satu kendaraan paling efektif yang sering ditumpangi banyak orang, terutama commuter line.
Alasan Dewa berdiri pada peron di dekat pilar penyangga atap stasiun adalah karena seseorang yang sempat memblokir nomornya tiba-tiba menghubungi sekitar jam sembilan, Mya mengatakan kalau ia sedang dalam perjalanan ke Jakarta menaiki Kereta Api Taksaka dari Stasiun Tugu Jogjakarta sejak pukul delapan, wanita itu mengundurkan diri dari acara hunting esok hari, ia reschedule kepulangannya menggunakan pesawat dan pamit pada teman-temannya yang masih bertahan di Jogja.
Hal seperti ini membuat Mya merasa deja vu, berapa kali ia reschedule tiket pesawat?
Karenanya, Dewa sampai tak bisa tidur semalaman, ia terus menunggu tiap detiknya menghampiri waktu yang sudah ditentukan seraya bingung memikirkan apa yang terjadi dengan Mya sampai pulang lebih cepat, Dewa mulai cemas.
Pengumuman kedatangan kereta Taksaka dari Jogja terdengar lewat pengeras suara yang menempel di sudut-sudut stasiun tersebut, Dewa sampai menengadah untuk mendengarnya lebih jelas. Ia menatap ke arah setitik cahaya terlihat mendekat, semakin cepat sampai turbulensi yang berlangsung karena gemuruh lewatnya kereta mulai Dewa rasakan, kereta yang membawa empat gerbong tersebut akhirnya berhenti pada jalur rel di depan peron tempat Dewa berdiri.
Beberapa orang yang sempat merebah atau duduk di kursi panjang ruang tunggu mulai menghampiri peron, kemungkinan besar mereka semua juga menunggu siapa pun yang berada di dalam gerbong tersebut.
Dewa menatap sekitar, pada pintu tiap-tiap gerbong yang akhirnya terbuka, ia tak tahu istrinya berada di gerbong yang mana. Dewa mencoba mencarinya ke dua gerbong di sisi kiri saat beberapa orang mulai bermunculan di sana, tapi suara seorang wanita yang dikenalinya membuat Dewa beralih menemukan sang istri sudah berdiri di peron seraya menatapnya dalam aura yang berbeda.
Dewa menghampirinya, ternyata mereka bisa bertemu lagi kurang dari dua hari. "Mya, kamu—" Sebuah dekapan membuat suara laki-laki itu terhenti, Mya memeluknya erat seraya menyandarkan sisi wajah di dada laki-laki itu. "Kamu kenapa, My? Kok pulang cepat? Emang kerjaannya di Jogja? Atau, ada masalah sampai harus pulang sekarang?" cecar Dewa yang sudah sangat mencemaskan istrinya sejak semalam, ia seperti tak mampu memaknai dekapan istrinya.
"Aku masalahnya." Suara Mya terdengar bergetar, Dewa mengernyit dan menyentuh kedua lengan sang istri, ia mengurai dekapan wanita itu dan menjauhkannya agar bisa melihat jelas apa yang terjadi.
"Kamu nangis? Nangis kenapa, My? Siapa, siapa yang jahat sama kamu. Ada masalah apa di Jogja?" Dewa semakin cemas.
"Aku masalahnya, dan aku orang jahatnya."
Dewa menatap sekitar, sunyi yang sempat mengajaknya bercengkrama perlahan menepi digantikan keramaian ketika banyak orang berdatangan menjemput siapa pun dari mereka di stasiun pagi ini.
"Kita pulang langsung ya. Nanti kamu bisa jelasin semuanya di apartemen," ujar Dewa, dan istrinya memilih mengangguk. Tangan laki-laki itu meluruh meraih satu tangan Mya yang kosong saat sisanya menarik koper dan membawa keduanya menjauh dari peron.
***
Mereka tiba di apartemen, Dewa membukakan pintu dan meletakan koper Mya begitu saja di dekat pintu, ia juga mendudukan Mya di sofa seraya berjongkok di depannya saat melepas sepasang stiletto Mya yang kini digantikan sandal biasa, Dewa masih belum memahami mengapa di sepanjang jalan istrinya tetap saja menangis seraya mengatakan kalau ia adalah masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika, Mungkin (completed)
ChickLit1 in metropop (15 Januari 2021) 1 in generalfiction (29 April 2021) "Jika saja aku bertemu denganmu lebih awal, Mungkin kisah kita akan berbeda." Cincin pernikahan harusnya menjadi sebuah lambang penuh arti, tapi bagaimana jika mereka hanya memasang...