SEBUAH FOTO.

17.1K 1.5K 35
                                    


Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam, tapi seseorang masih sibuk berbenah untuk satu koper terakhir berisi separuh pakaian serta barang-barang yang tak ingin Mya tinggalkan di rumah mendiang orangtuanya, sekarang tempat itu kosong, tapi untungnya tetangga sebelah sudi menekan tombol lampu depan tiap pagi dan menjelang malam. Mya meletakan beberapa pigura foto pada nakas kecil di dekat ranjang sebelum bergerak membuka almari dua pintu di sana, beberapa pakaian sudah tertumpuk dan memenuhi gantungan di satu sisi, kini Mya akan meletakan sisanya.

Sejak pulang sore tadi ia sibuk mengurus apartemen Dewa, atau lebih tepatnya apartemen sang suami saat Mya merasa tak miliki hak untuk sekadar menyebut tempat itu sebagai milik mereka. Usai meletakan semua pakaiannya di lemari, ia putuskan keluar kamar, memasuki dapur sekadar mengecek kematangan sup yang ia buat, kompor masih menyala, Mya meraih sebuah sendok besar—sebelum kuah panas ia tiup perlahan, mencicipi masakan pertama yang dibuatnya untuk Dewa meski Mya sendiri tak tahu pukul berapa laki-laki itu akan pulang, ia enggan bertanya lewat pesan singkat ataupun telepon.

Mya mengangguk usai merasa masakannya sudah layak dihidangkan, ia matikan kompor dan raih mangkuk kosong dari kabinet atas, menuang sup secukupnya sebelum letakan mangkuk sup di permukaan meja, ada sebuah piring ceper berisikan tumis udang asam manis yang dibuatnya sebelum memasak sup.

"Semoga kamu mau makan ini, Wa," gumam Mya penuh harapan meski kemungkinannya kecil, ia meninggalkan semuanya di sana, langkah Mya terhenti saat hendak masuk kamar sendiri, ia menoleh tatap pintu kamar Dewa yang tertutup rapat. Selama Mya membersihkan apartemen, ia bahkan tak menyentuh kenop pintu kamar Dewa, ia juga tak tahu apa saja isinya. "Bersih apa kotor?" Ia memberanikan diri mendekat meski keraguan seolah menarik sepasang kakinya agar mundur saja.

Mya menghela napas panjang saat tangannya terangkat menyentuh kenop pintu, rupanya bisa dibuka dengan mudah tanpa dikunci sama sekali. Mya terhenti sejenak, keraguan kembali menghentak.

"Maaf, Wa. Aku cuma mau beresin kamar kamu aja, permisi, ya," izin Mya untuk dirinya saja, ia membuka lebih lebar pintu kamar Dewa, perlahan menarik kakinya agar masuk—menginjak selasar di sana. Mya menekan tombol lampu pada tembok di dekat pintu, sekarang ia bisa melihat isi kamar Dewa lebih jelas, memperhatikannya seraya melangkah pelan.

Ada sebuah meja berisikan beberapa tumpuk map, lampu untuk belajar dan sebuah laptop di sana, posisinya persis di samping jendela—mungkin Dewa sering manfaatkan cahaya yang masuk untuk kerjakan urusannya di sana. Sebuah kursi berada di depannya, beberapa helai pakaian tersampir di bahu kursi—membuat Mya meraihnya. "Ini kotor atau bersih?" Sebuah jeans panjang serta dua buah kaus, Mya membaui aromanya sejenak, terlalu manis aromanya untuk dikatakan jika pakaian itu sudah disentuh keringat Dewa. Mya meletakannya lagi di sana, ia perhatikan lagi sekitar—sebelum bola matanya terhenti pada sebuah pigura foto di permukaan laci sisi ranjang besar Dewa.

Mya mendekat, ia hempaskan pantat di tepi ranjang sebelum raih benda yang semakin membuat fokus matanya tak ingin beralih. Sorot mata Mya meredup untuk detik-detik berikutnya, ia melankolis kali ini. Pigura dalam genggamnya perlihatkan sepasang manusia—yang lebih pantas disebut pasangan kekasih, sebab pose mereka tampak begitu mesra. Foto diambil dengan latar belakang sebuah gereja katedral yang begitu terkenal di Barcelona, bahkan telah masuk warisan dunia UNESCO meski proses pembangunannya belum selesai, sebut saja La Sagrada Familia. Tampak seorang perempuan dengan tinggi setara bahu Dewa berdiri di sebelahnya seraya memeluk pinggang laki-laki itu dan tersenyum menatap ke arah kamera, tangan kanan Dewa tampak merangkul si perempuan tanpa lupa tersenyum pada kamera.

"Barcelona," gumam Mya, salahkah jika ia kesal sekarang? Boleh tidak ia menerka-nerka tentang siapa perempuan dalam foto itu? Mya hanya tahu kalau semua saudara kandung Dewa adalah laki-laki, yang Mya sesali sekarang adalah ia banyak tidak tahu perihal kehidupan suaminya sendiri, benar-benar tak mengerti apa pun tentang sosok bernama Anggar Dewa Yudhatama.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang