KAKTUS DAN TAUGE.

12.1K 860 25
                                    


Tangan-tangan kurusnya mulai sibuk menyemprotkan air pada kaktus-kaktus kecil nan berjejer di dekat jendela swing kamarnya, atau sebuah ruangan yang sebentar lagi akan menjadi bekas kamar, entahlah—semua barang-barang yang sempat Mya pindahkan terakhir kali ke kamar Dewa karena kehadiran mertuanya—belum Mya pindahkan lagi ke kamar tersebut, beberapa hari ini ia juga tak merebahkan tubuh di ranjangnya karena Dewa memaksa mereka tidur di satu kamar saja meski tanpa erotis scene karena tanggal merah masih betah.

Tak disangka juga Dewa mengisi lagi area tersebut dengan sederet pot kaktus yang baru, padahal Mya pernah menjadikannya alat untuk mengamuk sampai stiletto saja membuat kening Dewa berdarah. Wanita itu mendesah, jika diingat-ingat lagi ia merasa sangat keterlaluan sampai memperlakukan suaminya sekasar itu.

Kini semua kaktus aneka jenis tersebut sudah basah, cengkar yang mengelilingnya tak lagi tandus meski mereka tak pernah meronta agar semuanya selalu diusahakan, tapi Mya tetap mengupayakan. Atau anggap saja kaktus-kaktus yang lama adalah rasa sakit yang pernah singgah, dan mereka semua sudah Mya hancurkan. Lantas, Dewa mendatangkan harap baru dari kaktus yang ia beli sendiri—untuk mengisi kekosongan kamar Mya. Jadi, semua tanaman itu mesti tumbuh besar sebagaimana melonjaknya perasaan Mya setiap hari, mereka harus tumbuh sama-sama.

"My, aku mau minta pendapat kamu." Suara Dewa terdengar mendekat, lantas raganya muncul di ambang pintu dan masuk begitu saja menghampiri sang istri yang masih berdiri di depan jendela sore ini. Tampak kedua tangan Dewa penuh oleh dasi berbeda warna. "Bagusnya yang mana, My? Aku kan enggak pernah pakai dasi, tapi meeting besok semuanya rapi karena aku jadi wakil divisiku, soalnya bakal ngadepin wakil perusahaan asing."

"Coba lihat." Mya meletakan semportannya di dekat pot kaktus, ia meraih kedua dasi berbeda warna yang dibagi Dewa. "Emang besok mau pakai baju apa?"

"Setelan jas sih, My. Biasanya kan cuma pakai kemeja aja, aku cocok nggak ya pakai jas-jas kayak gitu." Dewa memang terlihat resah, rasa percaya dirinya seolah lesap jika harus mengingat hari esok. "Aku bingung."

"Ambil setelan jas yang mau kamu pakai besok, aku tunggu di sini."

"Sebentar ya." Dewa bergegas keluar kamar, tak berselang lama ia kembali membawa sebuah setelan jas nan terlihat klimis, mungkin terlalu lama juga teronggok di sudut lemari, Mya sendiri juga tahu selama ia tinggal di tempat itu—belum pernah melihat Dewa memakai setelan jas formal seperti yang ditunjukannya sekarang. "Aku pakai atasannya ya, My?"

"Iya, pakai aja." Ia memperhatikan Dewa yang mulai mengenakan kemeja putih polos sebelum dibalut lagi dengan rompi hitam serta jas warna senada, wibawa laki-laki itu naik delapan puluh persen setelah mengenakan jas—meski celana pendek berada di bawahnya, Mya menahan tawa. "Gimana? Aneh ya kalau aku pakai kas kayak gini?"

"Siapa yang bilang? Sini aku pakein dasi kamu. Mau yang mana dulu nih?" Ada dua dasi di tangan Mya, satunya hitam dan yang lain merah maroon.

"Yang hitam dulu coba. Tapi, bentar deh. Aku pakai celananya, aku tahu kamu nahan ketawa kan lihat atas jas, bawahnya kolor kayak gini."

Mya mengangguk seraya tersenyum, suaminya kini mengenakan setelan jas lengkap dari ujung kaki hingga kepala, benar-benar nyaris sempurna. "Aku pakein yang hitam dulu ya, Wa. Kayaknya sih cocok semua." Untuk pertama kalinya Mya memasangkan dasi pada sang suami, kedua tangannya terangkat melingkarkan dasi di antara lipatan kerah kemeja, ketika wanita itu antusias melakukan tugasnya, Dewa bergeming menatap mata Mya yang beberapa kali berkedip, membuatnya mulai gemas saat akhirnya Mya menengadah setelah dasi pertama terpasang. "Black is good, soalnya hitam bisa kamu mix sama hampir semua warna." Ia mengangkat kedua ibu jarinya seraya tersenyum lebar. "Coba ngaca dulu." Ia menarik Dewa agar berdiri di depan cermin lemari.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang