MERANGGAS.

10.1K 870 14
                                    


Rembulan bergeming saat pantulannya berada di permukaan kolam renang terlihat tenang, tetap di sana meski tanpa siapa-siapa. Bahkan sejak kemarin malam ia berdiri di tepi kolam renang seraya menatap pantulan bulan yang sama, hampir setiap malam jika tiada mendung menyingkirkannya dari tahta.

Dua malam ini Sakti seperti menyukai tempat itu—yang selalu sunyi setiap hari, jarang sekali ada aktivitas manusia di kolam renang rumahnya—selain jika Sakti melompat ke dalam sana, sudah lama ia tak pernah melakukannya. Terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan serta perasaan, ya meski kini Sakti menyadari di mana posisi yang layak untuknya, yang jelas bukan di samping Mya, bukan juga di belakang atau di depannya, tapi di sudut yang tak lagi terjangkau.

Sakti hanya berdiri seraya menyimpan tangannya di balik saku celana, tatapannya terus menjurus ke permukaan air kolam yang begitu tenang, Sania datang seraya membawa secangkir kopi yang kini diletakannya pada meja kecil di beranda, ada sebuah sofa di sana serta beberapa pot tanaman monstera yang akhir-akhir ini sedang digandrungi banyak orang, harganya saja bisa mencapai lebih dari sejuta bergantung ukuran lebar daunnya.

Bagi beberapa orang yang menyukai, menanam bunga menjadi therapy tersendiri, mengurangi sedikit stres dan menambah rasa tenang. Lagipula siapa yang tidak suka melihat warna-warni bunga serta hijau daunnya?

"Sakti, ini kopinya, Nak. Kamu mama perhatikan semenjak pulang kerja sampai sekarang belum makan, nggak lapar? Mama buat makanan kesukaan kamu, Sak," tutur Sania yang berdiri tak jauh dari posisi Sakti berada, sang putra memunggunginya.

"Nanti, Ma. Belum lapar," sahut Sakti datar, ia tak menoleh untuk sekadar menatap lawan bicara.

"Kamu di kantor lagi banyak kerjaan, ya? Mama lihat-lihat juga kamu lesu begitu, dari kemarin cuma lihatin air kolam." Sania begitu memperhatikan setiap gerak-gerik anaknya dimulai gesture tubuh hingga ekspresi wajah.

"Iya." Singkat sekali, ia tak memiliki minat untuk bicara panjang lebar, rasanya seluruh semangat dalam dirinya sudah habis tak bersisa, dikuras hanya karena sebuah fakta saja. Rasanya memang masih sulit menerima, tapi Sakti dipaksa mengerti segala seolah semua yang diusahakannya tak berarti apa-apa.

Memang nilainya berbeda antara yang dilukai dan yang melukai, Mya tak bersalah, Sakti juga tidak. Kebetulan saja mereka terjebak dalam situasi yang membuat keduanya sama-sama dilema meski sakit hati lebih cenderung dirasakan Sakti, perempuan yang selama ini diharapkannya justru menikahi laki-laki lain? Bahkan ia tak tahu apa-apa seperti badut yang sedang menghibur sedangkan orang lain pura-pura menganggapnya lucu, kira-kira begitu.

Fakta yang diberikan Mya terlalu keras menampar Sakti, membangunkannya dari angan semu—yang jelas menyadarkannya jika ia hanya cinta sendiri.

"Si Mya kapan ke sini lagi, ya, Sak? Mama kangen." Suara bernada harapan tersebut membuat Sakti goyah dan memutar tubuhnya menghadap Sania. "Kamu ajak dia main ke sini lagi dong, Sak. Apa mama aja yang langsung telepon dia minta ke sini?"

"Jangan." Suaranya terdengar dingin. "Mya sibuk, Ma. Jangan gangguin dia." Sakti melenggang tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia juga tak menyentuh kopi yang dibuatkan sang ibu.

"Lho—" Sania terheran-heran, biasanya Sakti paling semangat jika disuruh menghubungi Mya.

Sania belum tahu apa-apa, Sakti juga belum siap mengatakan kebenarannya, ia belum siap mematahkan hati sang ibu yang memiliki belanga asa untuk menjadikan Mya sebagai menantu. Sakti saja merasakan pedih cukup dalam, bagaimana Sania nanti?

***

Atmosfer di bawah flat tersebut terasa semakin dingin saat seseorang memperlihatkan sikap yang berbeda sejak pulang dari acara kemarin malam, ia langsung masuk kamarnya dan mengunci pintu tanpa ingin mengatakan apa-apa. Lantas, pagi ini sikapnya masih sama, lebih dingin dari suhu AC di apartemen Dewa.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang