Ia mematut diri di depan cermin, memperhatikan penampilannya sendiri—padahal biasanya Mya tak acuh, semua yang nyaman dan cocok ia pakai saja tanpa memusingkan hari ini harus seperti apa. Blouse putih tipis serta celana katun membuat Mya terlihat lebih ramping, ia ikat tinggi rambut panjangnya, polesan di wajah tetap sederhana—seperti biasanya. Mya masih menatap pantulan diri pada cermin, ia menarik kedua sudut bibir, tapi kenapa terasa kaku, ia tak bisa memaksa senyumnya.Mya hela napas, ia bergegas raih cross body bag putihnya di permukaan ranjang sebelum melangkah keluar kamar, tepat saat itu juga Dewa baru keluar lengkap dengan setelan jas navy membalut tubuh atletisnya, yang khas dari Dewa adalah dia tak pernah memakai sebuah dasi. Jadi, takkan ada adegan seorang istri yang pakaikan dasi setiap pagi di kerah seragam suaminya.
Mereka saling tatap sejenak—sebelum Mya mendahului Dewa hampiri pantry, tapi nyatanya Dewa juga ikut masuk ke pantry dan berdiri di belakang sang istri yang terlihat sibuk memoleskan selai pada setangkup roti tawar. "Kopinya jangan lupa," ucap Dewa membuat Mya cukup terkejut karena baru menyadari seseorang di belakangnya.
"Kamu sebenarnya suka kopi apa, Wa? Maksud aku cuma kopi hitam aja?"
Dewa menarik kursi dan duduk di sana, tampak Mya meletakan setangkup roti tawar pada piring ceper di depan Dewa. "Latte tanpa gula."
"Oh, ya udah nanti aku pulang kerja langsung cari ya di supermarket." Mya membuat kopi lebih dulu sebelum melenggang hampiri pintu.
"Lo mau ke mana?"
"Aku mau siap-siap." Mya celingukan.
"Bisa duduk aja di sini sebentar?" Permintaan Dewa dijawab anggukan Mya, ia menarik kursi di sisi Dewa sebelum hempaskan pantat di sana. "Lo tahu nggak alasan kenapa gue nggak pernah makan masakan atau kopi yang lo buat tempo hari?"
"Mungkin karena kamu nggak suka sama masakannya atau—" Mya alihkan pandang seraya selipkan surai tersisa ke belakang telinga. "Atau nggak suka segala sesuatu yang aku buat."
"Tapi bukan itu jawabannya."
"Terus apa?"
Dewa menggeser kursi lebih dekat dengan Mya, memangkas jarak mereka yang hanya dua jengkal, ia memasang posisi miring saat tangan kanannya menopang sisi kepala seraya jadikan permukaan meja sebagai tumpuan siku, tangan lainnya terangkat menyentuh sisi wajah Mya. "Mau tahu alasannya, kan? Gue nggak suka makan sendirian, jadi gue jarang makan di sini. Setiap gue bangun pagi, lo udah berangkat, terus setiap gue pulang malam lo udah tidur. Lo sengaja ya ngebiarin gue makan sendirian?"
Harusnya sikap Dewa tak perlu seintim itu, membuat tubuh Mya terasa kaku, konyolnya ia tak bisa beralih dari bola mata Dewa yang menghipnotisnya—saat wajah Dewa mendekat perlahan bersama ibu jari menyusap lembut pipi sang istri, embusan napas Dewa kian dekat—membuat sekujur tubuh Mya meremang. Mya merasa otak serta tubuhnya sedang bersitegang hingga tak konsisten untuk lakukan sesuatu yang sama, ia sangat kerepotan dengan sikap Dewa saat ini.
Ketika kelopak mata Dewa menutup, Mya justru mendelik bersamaan batin menjerit saat jarak bibir mereka semakin dekat hingga tiap detiknya seperti lima kali lebih cepat. Sayangnya, ponsel Mya yang berdering di dalam cross body bag membuat perempuan itu refelks dorong Dewa.
Mya beranjak seraya mendelik, keterkejutan muncul di wajah Dewa. "Maaf, Wa. Aku harus jawab telepon." Buru-buru ia keluar dapur dan berdiri sandarkan punggung pada tembok di dekat pintu seraya tarik napas panjang, detak jantungnya berpacu lebih kencang dari sebelumnya. Mya rogoh ponsel sebelum hampiri sofa ruang tamu dan duduk di sana seraya berbicara pada seseorang di telepon. "Baik, Pak. Saya langsung berangkat ke sana kok, sebentar lagi." Panggilan itu berakhir, Mya membungkuk raih flat shoes di bawah meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika, Mungkin (completed)
Literatura Feminina1 in metropop (15 Januari 2021) 1 in generalfiction (29 April 2021) "Jika saja aku bertemu denganmu lebih awal, Mungkin kisah kita akan berbeda." Cincin pernikahan harusnya menjadi sebuah lambang penuh arti, tapi bagaimana jika mereka hanya memasang...