Ada rasa keterkejutan hinggap usai Mya membuka pintu kamar pagi ini, seseorang juga berdiri di depan kamarnya, padahal tempo hari laki-laki itu baru keluar jika Mya sudah berangkat ke kantor. Tatapan Dewa pun lebih dingin dari biasanya, ia lekat pada Mya tanpa berkedip sama sekali, tapi perempuan itu bersikap tak acuh dan melangkah melewatinya—sebelum tangan Dewa menahan lengan kanan Mya, begitu istrinya berhenti dan menoleh ia luruhkan tangannya dari lengan Mya, tak ingin menyentuhnya lebih lama.Mya bersidekap, tatapannya pada Dewa pun sedingin sikap laki-laki itu sekarang, sentuhannya tadi mungkin menyalurkan sesuatu, atau hal lain memang membuat Mya jadi tampak berbeda.
"Apa lo ...." Dewa menarik napasnya, menatap ke arah lain. "Apa lo bakal bilang soal hubungan gue sama Marisa ke orangtua gue?" Jelas sudah ketakutan yang diperlihatkan Dewa, jadi ia sengaja menunggu Mya keluar kamar dan bangun lebih pagi untuk menanyakan rasa penasaran yang membuat ia tak bisa terlelap semalam.
"Kamu takut?" Suara Mya seperti menantang. "Takut kehilangan atau takut untuk hal lain?" Keberaniannya meningkat sejak kejadian semalam.
"Jangan basa-basi, tinggal jawab aja." Dewa juga mulai geram, ia paling menginginkan jawaban sejelas-jelasnya sekarang.
Mya maju selangkah, ia menunjuk dada Dewa. "Aku tanya sama kamu, Wa. Apa dalam kontrak itu ada catatan tentang hubungan kamu sama Marisa yang nggak bisa diberitahukan ke orangtua kamu? Apa ada catatan jika suami berhak berkhianat pada istri—"
"Cukup!" bentak Dewa, "kita ini cuma main-main, kita cuma pura-pura, nggak ada cinta, nggak ada apa pun antara kita." Ia tengah menaikan rasa kesalnya pada tingkat tertinggi, tak hanya menyakiti Mya dengan sengaja, tapi berani membentak istri yang baru dinikahinya berapa hari lalu, janji di depan pendeta jelas semuanya palsu.
Kalimat sarkas Dewa tadi membuat Mya semakin mengerti di mana posisinya, di tempat apa seharusnya ia berada, yang jelas bukan di samping Dewa, tapi di belakangnya dan sabar menunggu hingga Dewa menoleh saat sosok Marisa berdiri di depan Dewa. Mya mengangguk seraya tersenyum miris, ia benar-benar menyedihkan, bukan? Dewa menolaknya secara terbuka, tak ada satu pun kata yang bisa membuat Mya merasa lega, rasa sakitnya justru kian terlunta-lunta. Mya seperti tengah berdiri di tengah gurun pasir yang begitu terik tanpa siapa-siapa, matahari seolah berada di atas kepala, menyiksa saat ia rasakan panas dan haus tanpa menemukan setetes air.
Mya alihkan pandang begitu Dewa menatapnya, ia benar-benar kesal mengapa harus secengeng itu menjadi perempuan, kenapa ia hanya bisa menangis, kenapa Mya tak bisa jadi tukang sulap yang akan memindahkan Dewa ke tempat lain—di mana Mya takkan bisa melihat laki-laki jahat itu untuk selamanya. Sepertinya Mya tersesat ketika datang ke apartemen Dewa, mungkin ia salah tempat.
"Kenapa cuma diam? Bukannya semalam lo ngomong sebanyak yang lo mau." Dewa terdengar menantang, ia bahkan tak miliki rasa iba melihat seorang perempuan menangis, jika itu Marisa, mungkinkah Dewa akan bersikap sama? Ia menyudutkan Mya semena-mena, mungkin benar jika cincin pernikahan bukanlah sesuatu yang akan membuat sepasang manusia benar-benar terikat oleh satu hal, yakni cinta. Cincin pernikahan juga bisa mengikat sepasang manusia untuk menikam pasangannya dari belakang, membuatnya lemah dan tak bisa berbuat apa-apa. "Gue sama Marisa emang enam tahun pacaran, satu hal yang selalu gue inginkan sama dia adalah menikah, tapi surat wasiat konyol dari orangtua lo bikin gagal semua. Gue nggak rela kehilangan Marisa, gue nggak rela."
"CUKUP, WA! CUKUP!" Mya tak tahan lagi, Dewa sudah menyeret mendiang orangtuanya ke dalam permasalahan mereka, yang Mya inginkan hanyalah keadilan sebagai seorang istri, hanya sebuah pengertian. Ia tak bisa membendung air matanya untuk tak terjun bebas, mengalir deras bulir demi bulir hingga bilur milik Mya semakin menyakitkan. "Kamu tahu apa yang salah dan benar dari kita, Wa? Aku salah, salah karena nggak tahu sedikit pun tentang kamu. Kamu benar, benar karena nggak ada cinta antara kita. Aku—" Mya menunjuk dadanya. "Aku bahkan nggak tahu cinta itu apa, aku nggak kenal kamu siapa, dan kenapa kita bisa di sini? Aku nggak berharap cinta, Wa. Karena sebelum aku bisa merasakan justru kamu udah melenyapkannya lebih dulu, aku hanya perempuan yang perlu dihargai sebagai seorang istri, itu cukup buat aku senang. Sayangnya, kamu nggak memiliki apa pun untuk itu, aku jadi bertanya-tanya akan sejauh mana pernikahan ini. Apa bisa berakhir sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika, Mungkin (completed)
ChickLit1 in metropop (15 Januari 2021) 1 in generalfiction (29 April 2021) "Jika saja aku bertemu denganmu lebih awal, Mungkin kisah kita akan berbeda." Cincin pernikahan harusnya menjadi sebuah lambang penuh arti, tapi bagaimana jika mereka hanya memasang...