PEDAR.

10.4K 850 48
                                    

Taburan bintang ya, kalo bisa komentar. Ini 2000kata loh ❤❤

Btw, beberapa orang pasti tau isi chapter ini.

***

Di bawah atap rumah dua lantai bergaya mediterania tersebut beberapa manusianya sibuk bersenda gurau hingga memenuhi langit-langitnya, hingga bising di luar sana tak merasuki telinga, bisa dibilang hal seperti ini jarang terjadi, langka dan sulit diterka. Karena peralihan rencana yang mendadak, mereka datang mendesak demi lele goreng serta sambal yang wajib ditemani lalapan.

Mya menyadari ia berada dalam lingkup sebuah keluarga yang sempurna, ada mama, papa serta Dewa yang berhasil menarik Mya dalam lingkaran tawa, wanita itu belum sempat terpikir kalau ia harus datang ke rumah orangtua Dewa dan duduk bersama di balik meja makan, ini kali pertama terjadi. Sekalipun dulu Mya pernah datang ke rumah ini—karena alasan menemani Paramitha memasak, lantas wanita itu berbisik perihal ulang tahun Dewa.

Pagi ini suasananya sangat berbeda, sehangat mentari yang baru muncul menyambut dari ufuk timur, sempat meragu dan berakhir malu-malu. Wajah Mya bersemu merah karena merasa bahagia, bukankah keluarga seperti ini yang ia inginkan?

Setelah mereka sama-sama membersihkan diri usai pergumulan panas di ranjang kamar Dewa, laki-laki itu sengaja menghubungi Paramitha agar membeli ikan lele pada tukang sayur yang biasa memasuki komplek tempat tinggal sang ibu, tapi Paramitha justru mendesak agar Dewa dan Mya datang ke sana sekalian menginap mumpung Sabtu malam. Alhasil, setelah mendiskusikannya lebih dulu dengan Mya, mereka berakhir terjebak di rumah ini, rumah yang menyambut kehadiran Mya dengan sukarela bersama rentang tangan nan siap mendekap Mya dalam kehangatan sebuah keluarga kapan saja.

Wanita itu sadar, tak segala hal harus dilandasi sebuah ego—termasuk yang ia pikirkan akhir-akhir ini—sebelum Dewa berhasil membawa Mya pulang ke apartemennya lagi dengan damai. Wanita itu pernah merasa begitu kecewa, lara atas segala omong kosong yang merantai di belakangnya sebagai alasan mengapa ia harus menikah dengan Dewa.

Wanita itu sempat begitu frustrasi sampai tak ingin mendengar apa-apa lagi, bahkan hiruk-pikuk yang singgah di sepasang telinga tak sanggup menarik rasa percaya yang pergi. Hari di mana Herdi mengatakan segalanya di coffe shop benar-benar membuat Mya merasa drop, insecure dan selalu ingin mundur.

Kenyataannya, sebuah maaf yang selalu melapang dalam dada membuatnya merasa cukup, bahkan sebelum ia mendengar semua itu sudah banyak pedih yang dicercapnya secara sukarela, dan semua karena Dewa. Sekali lagi, tak apa ia merasa pernah kecewa, setidaknya semoga untuk hari-hari yang sudah lalu ia tak ingin lagi merasa ragu.

"Gimana kalau nanti malam kita dinner di luar," ujar Paramitha seraya menatap sepasang kaum muda yang duduk di sebrangnya.

"Nah bener, papa setuju sama usul Mama. Sekarang kita sarapan sama-sama, nanti dinner juga, kan malam minggu," timpal Cokro menyetujui.

"Tapi, kayaknya enggak bisa deh," sahut Dewa, ia menatap Mya yang tetap sibuk menikmati makanannya seolah tak mendengar suara-suara di sekitar. "Nanti malam aku sama Mya mau keluar, kami ada acara ke tempat temannya Mya, tadi juga sengaja bawa bajunya."

"Penting banget ya, Wa?" Paramitha terlihat kecewa, ia terlalu bersemangat menyambut kedatangan mereka yang bahkan mau menginap semalam di rumah tersebut.

"Iya, Ma. Kan acara temen deketnya Mya."

"Maaf banget ya, Ma. Tapi, lain kali kami janji bisa dinner kok." Kini Mya angkat bicara.

"Ya udahlah enggak apa-apa, kan harinya masih panjang, nggak masalah kok. Mamanya Dewa terlalu excited aja ada kalian di sini, udah kayak surprise aja gitu." Cokro manggut-manggut, ia beralih pada istrinya. "Udahlah, Ma. Kan masih banyak hari, kalau ngoyo malem ini udah kayak besok kiamat aja."

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang