KAMU CEMBURU?

14.3K 1K 40
                                    


Tirai yang sempat bergoyang diterpa angin malam kini tenang usai pemiliknya menutup jendela dan nyalakan AC kamarnya, ia menunduk tatap satu per satu pot kaktus kecilnya yang berjejer di balik jendela, mereka terlihat sangat cantik saat pagi hingga sore menjelang—disorot oleh baskara, salah satunya bahkan sudah perlihatkan sebuah bunga, biar saja berkembang seperti seharusnya. Lantas, untuk apa yang Mya miliki—mungkinkah bisa berkembang juga? Ibaratnya sebuah kecambah dengan akar yang begitu lemah, mungkin apa yang Mya miliki masih sebatas itu—belum lagi akhir-akhir ini angin kencang menerpa, membuat sang tunas goyah berkali-kali, berdiri kokoh memang tidaklah mudah.

Mya menoleh tatap jam weker pada permukaan laci kecil di dekat ranjang, jarum panjang menemui angka delapan, perempuan itu duduk sejenak di tepian ranjang seraya raih ponsel yang ia letakan di permukaan bantal, Mya sekadar cek whatsapp di sana, tapi tak ada chat masuk. Perempuan itu membawa keluar ponselnya dari kamar, melangkah hampiri dapur, tapi ia tertegun sejenak di ambang pintu kala temukan suaminya begitu serius menatap layar laptop bersamaan sepasang tangan sibuk di permukaan keyboard. Dewa duduk di sofa ruang tamu sendirian, televisi tetap menyala meski fokus Dewa tak menuju ke sana.

Tiba-tiba saja Dewa tak pulang malam lagi, Mya pikir setelah Dewa mengatarnya pulang ke apartemen—suaminya itu akan pergi lagi, tapi justru masuk ke apartemen bersama Mya, lantas sibuk dengan urusan masing-masing. Mya masih berdiri di posisinya, ia tersenyum kecil tanggapi aktivitas Dewa, bukankah lebih menyenangkan ketika melihat sang suami sibuk di rumah ketika malam menjelang ketimbang menunggunya pulang hingga larut malam?

Mya memasuki dapur, ia raih cangkir kosong serta sebungkus kopi instan dari kabinet atas, Mya mengaduknya setelah menuang air panas dari termos di sisi rice cooker. Ia meniup uap panas yang mengudara, menguar nikmat memamerkan aroma biji kopi yang khas, baru satu teguk Mya berhenti, ia menoleh ke arah pintu seraya pikirkan satu hal.

Perempuan itu letakan cangkirnya di permukaan panel, ia raih cangkir kosong baru dari kabinet atas, mengisinya dengan isian kopi instan tanpa lupa mengucurkan air panas, kini ia bawa dua cangkir kopi keluar dari dapur. Saat berada sekitar tiga puluh centi dari posisi Dewa berada, Mya bergeming sejenak—sebelum ia letakan secangkir kopi di dekat laptop Dewa.

Laki-laki itu menoleh—menatap wajah sang istri yang kini tersenyum tipis. "Kopi, Wa. Aku mau balik lagi ke kamar, jangan lupa istirahat." Bukankah perkataan Mya begitu lembut sekarang? Saat perempuan itu memutar tubuh, tangan Dewa lebih dulu menahan pergelangan Mya, membuat sang pemilik lekas menoleh.

"Di sini aja."

"Nggak ganggu?" Mya skeptis, tapi Dewa menggeleng, alhasil ia ikut meletakan cangkir kopinya di meja dan duduk di sofa dengan jarak sejengkal dari Dewa.

Mya sandarkan punggung seraya tatap acara di televisi, sedangkan suaminya sibuk dengan urusan laptop, ekspresi Dewa kembali serius, bahkan beberapa kali berdecak seraya menggaruk pelipisnya. Sesekali Mya lirik sang suami, kecanggungan mungkinkah ia rasakan sendiri? Menjalani hidup normal layaknya suami istri meski beberapa hal masih terlihat sangat kurang.

Ponsel Mya berdering, ia dapati nama Sakti tertera di layar. Mya angkat panggilan itu seraya tempelkan ponsel pada telinga kanan. "Hallo, Sak?"

"Kamu di mana, My? Kok di rumah sepi?"

Mya mendelik. "Rum-rumah?" Ia tergugu. "Ngapain? Maksud aku kenapa nggak bilang dulu."

"Kenapa aku harus bilang, aku cuma pengin main aja ke rumah kamu, tapi malah sepi kayak gini."

"Ak-aku lagi nggak ada di rumah, ak-aku ada di—" Tiba-tiba Dewa merebut ponsel Mya, menempelkannya di telinga kiri seraya menunggu seseorang lanjut bicara di seberang sana. Saat Mya hendak merebut ponselnya, telunjuk Dewa menempel di bibir Mya, mengisyaratkan agar perempuan itu diam saja.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang