EKUIVALENSI.

9.6K 949 29
                                    


Tetiba aku ngebayangin kalo Mya itu Zoe Jackson, terus Dewa ya.... Antonio Blanco aja 🤣🤣🤣
Maap, korban sinetron. Abis tokoh laki sama, mana konflik sama 😥😥 semoga gak ada yang mengira ini plagiat sinetron ya, enggak sama sekali kok, kisah ini ditulis dari 26 Juni 2020, jadi nama serta konflik yang rada mirip bukan unsur kesengajaan 😢😢

***

Kamarnya redup, sekalipun ada cahaya yang masuk jika jendela kamar dibiarkan terbuka agar rembulan bisa sedikit menyorot ke dalam ruangan tersebut, tapi ia tak melakukannya. Biar saja gelap, tidak apa-apa kalau dadanya terasa pengap. Percuma mati-matian menahan jika air mata tak pernah bisa diajak bertoleransi terhadap pemiliknya, mereka malah makin menjerumuskan ke dalam kubangan lara agar bisa berlarian keluar dari sudut mata.

Ia termangu di tepi ranjang dengan posisi menghadap ke jendela kamar di mana deretan kaktus miliknya tetap utuh di sana, menjadi saksi setiap hari, menjadi bukti jika ia masih bertahan hingga detik ini. Sepasang tangannya memeluk erat sebuah pigura besar warna putih bergambar keluarga lengkap yang sejak awal sudah dibawanya masuk ke tempat ini, agar ia rindu pulang, agar ia mengerti masih ada sayang.

Jika diputar ulang, apa pun di sekitarnya terasa asing lagi, Mya tak pernah menginginkan berada di tempat ini, duduk di sini dan menikmati riuhnya luka yang menyayat hati, sendiri.

Ada yang aneh dari hari ini, bahkan mungkin sejak kemarin. Pertemuannya dengan Herdi justru memicu bangkitnya luka lama yang belum reda, setiap pesan yang terlontar dari bibir pria itu membuat Mya menyadari bahwa ia adalah lakon utama, pemain dalam drama yang diawali patah hati, konflik patah hati, dan bagaimana nanti tentang klimaks di kemudian hari?

Mya sadar dirinya terlalu lemah, ia tak memiliki tameng apa-apa untuk melawan segala, setiap perkataan orang lain yang menariknya menuju suasana penuh luka, dan Greta menjadi pemicu utama mengapa malam ini Mya menangis seraya memeluk pigura miliknya.

"Mya." Suara itu menyadarkan Mya jika ia tak lagi sendirian di tempat ini, atap yang sama untuk ditinggali berdua. "Mya, kamu udah pulang kan?"

Tangan-tangan kurus Mya mengusap air mata di wajah, tetap saja takkan cepat samar sebab ia menangis sejak pulang dari kantor, bahkan Mya belum mandi dan mengganti pakaiannya. Ia terlalu sibuk menangisi patah hati, seperti malam ini.

Derit pintu kamar terdengar, siluet seseorang terlihat sebelum tubuhnya muncul di ambang pintu, ia mengernyit menanggapi kamar Mya begitu gelap. Tanpa perlu meraba Dewa tahu di mana tombol lampu kamar berada, begitu cahaya membuat segalanya terlihat, ia tersenyum melihat keberadaan Mya yang duduk di tepi ranjang dengan posisi memunggunginya, mati-matian wanita itu menahan air mata agar jangan meluncur lagi.

"Kok lampunya enggak dinyalain, My? Kamu lagi apa?" Dewa bergerak mendekat, langkahnya seolah terdengar begitu keras di telinga Mya, semakin dekat suara derap kaki Dewa membuat sekujur tubuh Mya merasakan lemas serta ketakutan. Ia semakin mengeratkan pelukan pada pigura lama miliknya.

Mya menoleh menatap Dewa yang kini sudah berada di dekatnya, saat Dewa duduk—Mya refleks menggeser posisi agar jarak mereka semakin tercipta, ia kembali sibuk mengusap wajahnya yang basah.

"Kamu nangis?" Dewa tampak iba. "Siapa yang bikin kamu nangis? Ada masalah di kantor? Apa, My?" Sejak kapan Dewa menjadi cerewet sekali.

Mya menatapnya sekilas, ia hanya menggeleng tanpa minat berbicara.

"Itu foto siapa? Boleh aku lihat?" Tangan Dewa terulur hendak menyentuh pigura dalam dekapan Mya, tapi istrinya lantas menjauhkan agar Dewa tak bisa menyentuhnya, Mya bertingkah posesif pada benda itu. "Oke, aku enggak akan pegang." Ia mengangkat kedua tangannya ke udara. "Tapi, bisa cerita alasan kamu nangis ini kan?"

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang