SEMU.

10.6K 928 17
                                    


Soundtrack chapter ini, cek mulmed : Mahen — Cinta Selesai.

***

Tidak banyak yang bisa dilakukannya selain menunggu hingga istrinya tersadar, tadi Dokter Diana sempat datang untuk memeriksa kondisi Mya, ia menuturkan jika Mya baik-baik saja, Dokter Diana hanya meninggalkan vitamin untuk istri Dewa serta beberapa nasihat sederhana yang langsung diangguki laki-laki itu.

Dewa tak bisa menyembunyikan rasa cemas di wajah serta gesture tubuh yang sedari tadi melangkah bolak-balik di depan ranjang tempat terbaringnya sang istri, saat menyadari Mya pingsan dalam dekapannya—ia membopong Mya keluar kamar dan merebahkannya di ranjang kamar Dewa, seperti sekarang.

Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, sudah hampir dua jam Mya tak kunjung sadar, rasa cemas Dewa kian meningkat meski Dokter Diana mengatakan istrinya baik-baik saja, tapi mengapa tak kunjung membuka mata.

Dewa mendesah, ia melangkah keluar kamar menghampiri pantry, membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol air mineral dingin yang lantas diteguknya hingga habis. Kenyataan tak membuatnya merasa tenang, ia kembali ke kamar mengecek keadaan Mya yang masih sama.

Dewa duduk di tepi ranjang, lebih tepatnya di sisi perut Mya yang terbalut selimut. Tangan Dewa terulur menyentuh kening Mya, ia takut jika istrinya demam atau ada hal lain yang membuat Mya tak lekas membuka kelopaknya. Mya bukan putri tidur kan?

"Kenapa sih, My? Kok enggak sadar-sadar?" Dewa mendesah, ia mengalihkan pandang, tapi baru beberapa detik menatap ke arah lain—tangannya merasakan sentuhan yang tak lagi asing baginya, tangan Mya. Wanita itu sudah sadar. "Mya." Wajah bersemu menyambut kesadaran istrinya. "Gimana? Apa ada yang dirasa? Aku bisa panggil Dokter Diana buat ke sini lagi kok."

"Nggak perlu." Suara Mya terdengar lemah, ia melepas tangan Dewa yang sempat disentuhnya, ekspresi wanita itu sama sekali belum berubah. "Aku enggak apa-apa, aku butuh—" Ia menelan ludah bersusah payah, kepalanya menoleh menatap segelas air yang tergeletak di permukaan laci kecil sisi ranjang Dewa.

"Kamu mau minum? Aku ambil—"

"Nggak perlu, aku bisa sendiri." Sikap Mya masih tetap dingin, bahkan mungkin lebih dari sebelumnya. Dewa mulai menerka-nerka apa saja yang terjadi dengan perempuan itu sampai sikapnya samar untuk dipahami. Mya beranjak duduk dan meraih gelas tersebut sebelum meneguk isinya sedikit. "Dewa, aku mau minta izin ke kamu."

"Izin? Mau ke mana, My?"

"Pulang."

"Pulang? Pulang ke mana, apartemen ini kan rumah kamu."

"Pulang ke rumah orangtuaku di Perumahan Cempaka, aku mau pulang."

Dewa tertegun, raut wajahnya berubah, tadi ia begitu senang menanggapi sadarnya sang istri, tapi tersadarnya Mya justru membagi keinginan yang mengejutkan.

"Kenapa? Kenapa mau pulang ke sana? Aku temenin, ya."

Mya menggeleng. "Nggak perlu, aku mau sendirian, aku butuh menenangkan pikiran. Aku takut, Wa. Aku takut mengubah keputusanku tanpa berpikir panjang lebih dulu. Aku yakin kamu bisa ngerti keputusan aku, jadi tolong izinkan aku buat pulang sebentar ke rumah."

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang