AMBIVALEN.

10.8K 1K 32
                                    


Memang tidak hujan, buktinya di luar nabastala begitu cerah, gumpalan awan mengapung di angkasa, serta baskara yang pamer senyum pongahnya pada penghuni buana. Hanya saja, hujan berlangsung bagi seseorang meski tanpa aroma riuh petrikor, tanpa kelabu di luar, tapi suram di dalam.

Entah apa, ia harus bagaimana?

Wajahnya tampak basah menatap pantulan diri pada cermin wastafel kamar mandi, sekitar lima belas menit di sana dan hanya menangis tersedu-sedu menatap rupa sendiri, baginya mengenaskan. Apa sebenarnya yang Mya inginkan? Dia cinta atau benci? Atau mungkin dua hal itu berbaur jadi satu?

Di beberapa titik terlihat bercak memerah, bahkan di antaranya kebiruan seperti bulatan kecil, entah apa itu—semua membuat Mya terasa sakit, dari ujung ke ujung, luar dan dalam. Konyol, dia sudah merasakan setiap detiknya, Mya baru menyadari rayuan malam hari yang sempat membuatnya berseri-seri. Lantas, kala ia tiba-tiba membuka kelopak di hari selanjutnya—semua tampak berbeda, Mya menolak segala.

Kran shower masih saja menyala sejak Mya memasuki tempat itu meski jatuhnya air tak membasahi siapa pun, perempuan itu membasahi diri dengan air mata sebanyak yang ia punya. Biar saja suara shower menyamarkan sesenggukan yang ia perdengarkan cukup jelas di dalam sana, biar saja siapa pun di luar sana tak perlu ikut mendengar semua.

Mya mengutuk nasib yang ia rasa sebagai aib, raga serta jiwa berkolaborasi mengkhianatinya, mengapa ia masih bertahan untuk jiwa dan raga yang sama?

Mya mendekati bathup, mengalirkan air di sana sebelum masuk ke dalam, meluruskan sepasang kaki seraya sandarkan punggung di bahu bathup. Mya akui ia munafik, memilih setuju meski setelahnya merasa ditipu.

Gedoran dari luar kamar masih berlangsung saat penghuninya tak ingin mendengar apa-apa selain suara air shower kamar mandi yang menyentuh selasar bak gemuruh hujan. Sayangnya, laki-laki itu semakin kesal saat kesabarannya tak diacuhkan. Ia buka begitu saja sebelum perhatikan sekitar, suara shower membuatnya sanggup menarik napas lega. Mereka tak melakukan telepati, entah mengapa perasaan Dewa janggal untuk pagi ini.

"Mya, lo lagi mandi, kan?" Suara Dewa terdengar tenang, ia menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat, tapi tiada suara Mya membalas jua. Dewa perlahan mendekat, suara rintik air shower seperti miliki kekuatan magis yang terus menarik Dewa agar lekas mendekat. "Mya? Mya? Lo dengar gue, kan?"

Lagi-lagi, tiada jawab menguadara. Dewa di ujung tanda tanya, ia tiba persis di depan pintu, tangannya bergerak cepat meraih kenop tanpa perlu izin membuka pintu begitu saja, ia mendelik tanggapi perempuannya menenggelamkan diri di bath up, kepala Mya sudah meluruh di bawah permukaan air.

"MYA!!!" Persetan dengan tubuh Mya yang tak terbalut sehelai benang, kelopak mata istrinya terkunci rapat. Dewa menarik kimono handuk putih yang tersampir di dekat wastafel sebelum angkat tubuh Mya, mengajaknya agar bertahan berdiri sejenak saat Dewa bersusah payah pasangkan kostum mandi itu di tubuh istrinya.

Dewa memapah tubuh Mya yang lemas, membawanya keluar dari sana sebelum membaringkannya di ranjang, selimut Dewa pasangkan agar suhu tubuh Mya naik. Dewa menghubungi seseorang seraya rasakan getir saat menatap Mya tak sadarkan diri, apa perempuan itu baru saja melakoni adegan bunuh diri?

Rupanya Dewa sehina itu, menjijikan sampai seseorang yang justru sah menjadi pasangannya malah frustrasi dan berniat mengakhiri hidupnya. Ia tak pernah memperhitungkannya, tak tahu mengapa semalam waktu terasa sangat panjang sampai lupa di mana posisi mereka sejatinya.

"Oke, Dok. Saya tunggu." Ia berdiri di ujung ranjang seraya luruhkan ponsel dari telinga, sepasang netra enggan beralih dari sana. Untung saja sekarang adalah Minggu, mereka bisa menghindari kemungkinan buruk yang terjadi jika orang kantor tahu tentang tragedi patah hati pagi ini.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang