Ada yang Mya lupakan hari ini, tentang makan siang bersama Herdi, tapi ya sudahlah, pria itu juga tak menghubunginya di sepanjang hari. Mungkin besok, masih ada hari lain mereka mengatur temu. Ia baru mengingatnya setelah meninggalkan ruang kerja Sakti, bukan hanya meninggalkan, tapi memberi goresan baru yang mungkin lebih panjang.Mya mungkin akan memikirkannya, nanti jika ia memiliki waktu luang tentang segala hal yang terjadi antara mereka, Sakti tetap menganggapnya sebagai perempuan yang ia perjuangkan, tapi Mya kukuh menyatakan jika mereka sebatas teman. Tidak ada yang lebih, sebab jatuh hati juga bebas memilih.
Pintu lift membawa sekumpulan orang-orang menghambur di lobi, Mya salah satunya, ia mengingat jika Dewa akan datang menjemputnya sore ini. Hanya saja sedikit kerumitan bergrilya di kepala, seperti membuatnya gatal saja. Ini tentang Aira dan Melodi, mereka masih belum tahu kisah sebenarnya tentang Dewa.
Mya memberi jarak cukup jauh di belakang kedua temannya yang terus saja melangkah seraya berbicara tanpa menoleh ke belakang, ia hanya berharap salah satu dari mereka tak melihat Dewa di luar sana, atau lebih baik jika Dewa terlambat saja. Mya hanya tak ingin berbohong lagi, atau berbual tentang omong kosongnya pada mereka.
Mya memutuskan berhenti di depan kaca lobi yang tebal, ia memperhatikan kedua temannya menuruni anak tangga menuju area parkir sebelum berpisah oleh ruang dan jarak yang berbeda. Mya bisa menarik napas lega kali ini, ia memutar tubuh, tapi jantungnya hampir saja melompat jika saja tak terbungkus rapi di dalam dada.
Dewa berdiri di belakangnya, sejak kapan?
"Kam-kamu di sini, Wa?" Disentuhnya dada yang sudah menegaskan tentang spot jantung.
"Iya, aku tadi ke toilet sebentar. Kamu lagi lihatin siapa?" Dewa memperhatikan sekitar, menjelajah apa yang bisa tertangkap bola mata.
"Bukan apa-apa kok."
"Ya udah, kita langsung pulang aja sekarang. Nggak ada acara lain, kan?"
Mya menggeleng. "Kita pulang aja."
***
"Fajar."
"Misca."
Kedua rekan kerja Dewa kompak mengulurkan tangan di depan Mya saat laki-laki itu memperkenalkan sang istri pada mereka, semua orang pasti terkejut mendengar pengakuan Dewa, ia hanya menepati janji untuk memublikasikan hubungan tersebut pada semua orang—seperti seharusnya.
Sejak Mya turun dari motor serta tangannya dirangkum Dewa saat mereka melangkah memasuki kantor baru cabang kantor utama tempat Dewa bekerja, semua orang memusatkan fokus pada mereka. Mya terlihat asing di mata semua orang, bisik-bisik pun terdengar, bukan salah mereka juga sampai harus bergosip di depan mata.
Mya hanya tersenyum seraya membalas uluran tangan teman-teman Dewa yang mengajaknya berkenalan, entah laki-laki atau perempuan. Kesan pertama yang Mya dapatkan dari pertemuan pertama malam ini adalah mereka semua sangat ramah, bahkan beberapa orang mengajaknya untuk bergabung di satu meja seraya menikmati pastry yang tersedia atau bertukar cerita.
"My, sebentar ya, aku dipanggil sama bos," tutur Dewa seraya menunjuk pada seorang pria berjas hitam yang berdiri di dekat altar rendah ruangan megah tersebut.
"Iya." Mya tersenyum tipis saat Dewa meninggalkannya bersama suasana yang masih sangat asing, Mya mungkin mampu beradaptasi dengan sekitar, tapi ia takkan banyak berbicara jika tak benar-benar dekat dengan orang tersebut.
"Minum." Laki-laki yang tadi sempat memperkenalkan diri dengan nama Fajar terlihat mengulurkan segelas cocktail di depan Mya.
"Makasih." Mya meraihnya, tapi tak lantas ia teguk, sedari tadi fokusnya hanya memperhatikan Dewa yang terlihat berbicara dengan bosnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika, Mungkin (completed)
ChickLit1 in metropop (15 Januari 2021) 1 in generalfiction (29 April 2021) "Jika saja aku bertemu denganmu lebih awal, Mungkin kisah kita akan berbeda." Cincin pernikahan harusnya menjadi sebuah lambang penuh arti, tapi bagaimana jika mereka hanya memasang...