HUJAN MALAM INI.

10.9K 921 44
                                    


"Dewa."

Suaminya melenggang masuk begitu saja melewati Mya, entah apa yang Dewa cari saat kakinya tak mau diajak berhenti, yang jelas Dewa memasuki kamar Mya dan meraih sebuah koper yang sempat Mya bawa saat kembali ke rumah ini, koper tersebut berada di sebelah lemari pakaian. Dewa meletakannya di permukaan ranjang, menarik resleting dan membuka penutupnya sebelum bergeser membuka lemari—mengeluarkan pakaian Mya yang dialihkannya ke dalam koper.

"Dewa! Kamu ngapain?" Mya terkejut saat menemukan suaminya sibuk memindahkan pakaian Mya ke dalam koper.

"Mau bawa istri aku pulanglah, ngapain lagi emang," sahut Dewa tanpa mengehentikan aktivitasnya, Mya juga ikut sibuk saat dia mengeluarkan pakaiannya dari koper, ia belum ingin ke mana-mana sekarang.

"Wa, aku udah bilang biarin aku sendiri tiga harian ini, apa nggak bisa?"

"Enggak. Aku nggak bisa." Dewa menutup koper meski di dalamnya hanya terisi beberapa pakaian saja setelah Mya mengeluarkan sisanya tadi, Dewa menarik resleting hingga tertutup rapat, ia merangkum tangan Mya—hendak menarik wanita itu keluar dari sana, tapi Mya menahan, menatap Dewa seraya menggeleng. "Kenapa, My? Kenapa enggak mau? Aku suami kamu, aku berhak atas kamu, salah kalau aku ajak kamu pulang?" Dewa memperlihatkan sedih di wajah, ia tak bisa menyembunyikannya setelah serangkaian usaha sia-sia hari ini.

Mya tak kalah memperlihatkan raut melankolisnya, mereka seperti mengimbangi lara satu sama lain. "Aku nanti bakal pulang, tapi nanti, Wa. Aku udah bilang kan tiga hari aja, Wa. Aku nggak minta apa-apa lagi."

"Tapi, aku enggak bisa, Mya. Kita pulang, ya?" Dewa mengiba, tangannya menuntun Mya menghampiri pintu kamar seraya menarik koper wanita itu.

"Dewa ...." Mya menarik kasar tangannya hingga lolos dari genggam sang suami. "Please, bukannya aku enggak menghargai usaha kamu datang ke sini, tapi mengerti sedikit aja, nggak usah banyak-banyak. Aku butuh waktu."

"Ini soal Greta, kan? Aku udah bilang ke dia biar jangan ganggu urusan kita lagi." Sayangnya, Mya menggeleng. "Terus apa, My? Apa lagi?"

"Ini nggak sesederhana itu, Wa." Sorot mata Mya kian meredup, seperti lampu lima watt yang siap mati kapan saja. Mya mengambil alih kopernya, menarik lagi benda tersebut ke permukaan ranjang dan mengeluarkan pakaian yang tersisa, ia tata lagi semua ke lemari seperti semula.

Dewa tertegun di dekat pintu, telapak tangan yang sempat merangkum tangan Mya kini kosong, ia menatap telempap tersebut sebelum berganti pada pemiliknya seolah ada yang hilang.

"Kamu tahu, My. Sampai hari ini aku masih berusaha menjadi apa yang diinginkan semua orang, meninggalkan apa yang aku punya, buat kamu, buat kehidupan kita." Nada bicara Dewa menyiratkan rasa kecewa yang mendalam, mereka saling menatap, ada prinsip masing-masing yang dipegang teguh, ketika mereka sibuk merangkai cerita, tinta seolah habis sebelum mencapai daluang terakhir. "Aku penuhi janji buat semestinya, menjaga kamu."

Mya ingin sekali membiarkan wajahnya bersemu mendengar tutur kata Dewa yang tak pernah ia dengar, rasanya seperti diajak naik rollercoaster yang pergerakannya semakin meninggi, tapi saat Mya menyadari kenyataan jika Dewa kemungkinan besar masih mencintai kekasih enam tahunnya itu—membuat pergerakan rollercoaster menukik tajam ke bawah tanpa terkendali.

Rasanya syok berat, senyum yang hampir saja terlukis di wajahnya langsung sirna. "Boleh aku tanya kan, Wa? Kamu minta aku pulang karena kamu takut Mama Paramitha tahu kita lagi pisah rumah atau karena kamu—" Mya tak sanggup mengatakan lebih lanjut, ia merasa ragu untuk sekadar bertanya.

"Karena kamu istri aku, dan kita harus tinggal serumah." Apa yang Dewa katakan benar meski terdengar klasik. "Sekalipun mama tahu soal ini, dia mau apa? Masalah kita harus kita yang selesaikan."

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang