Saat bibir sulit bertutur kata, masih ada anggota tubuh lain yang mewakili, seperti bahasa tubuh atau mimik wajah, bahkan terkadang turun hujan. Seperti Mya yang tak ingin berbicara, bahasa tubuh serta mimik wajah memperjelas keterdiamannya, tapi tak ada mata berkaca, untungnya supir taksi tak bisa melihat kondisi hati Mya saat ini, ada beberapa retakan kecil di sana.Sejak kembali ke kantor, Mya diam seribu bahasa, ia menanggapi obrolan orang lain seperlunya, biasanya jika terdengar sebuah lelucon maka Mya yang paling pertama tertawa, tapi siang hingga sore tiba perempuan itu tampak murung. Ocehan yang Sakti buat bahkan tak mampu menepikan risau dalam benak sahabatnya, Sakti hanya berpikir jika Mya mungkin lelah setelah acara peninjauan di pabrik.
Kali ini perempuan itu duduk di dalam taksi, melamun bersama tatapan yang mengarah keluar jendela, langit masih mengabu sejak hujan siang tadi. Sebuah kotak berisi beberapa pot kaktus kecil berada di pangkuan Mya, ia sengaja mampir ke toko tanaman lebih dulu.
Taksi menepi di sisi jalan dekat apartemen, Mya ulurkan uang lebih dulu sebelum turun seraya peluk kotak kaktusnya di dada. Perempuan itu lantas masuk tanpa semangat, lagipula semangat dalam hal apa yang bisa Mya rasakan lagi jika tiba di apartemen? Hari cerahnya bisa berganti kelabu jika sudah tiba di apartemen, harusnya seorang istri merasa senang jika tiba di rumah, ia bisa berkisah perihal keluhannya di kantor, memasak resep makanan terbaru untuk suaminya atau bahkan meminta tolong agar dipijat kepalanya saat pening mendera akibat memikirkan segudang pekerjaan.
Sayangnya, tempat Mya pulang tak ada sedikit pun keramahan dari pemilik mutlak tempat itu, setiap waktu hanya rasakan sesuatu yang asing dan sulit dipahami, mencoba mengerti pun mulai membuat Mya tersiksa, ia tak bisa membaca isi pikiran suaminya, tak tahu apa yang dibutuhkan. Jika orangtua Dewa tahu perihal hubungan mereka, apa yang bisa terjadi?
Mya menghempas pantat begitu saja di tepian ranjang kamar seraya letakan kotak kaktusnya, ia buka penutup benda itu dan raih salah satu kaktus kecil, menatapnya dalam diam, dalam pikir yang melayang-layang. "Kamu tahu kenapa aku beli kamu? Kita sama, kita pasti bisa bertahan lebih lama." Ia letakan kaktus di tempat semula, membungkuk lepaskan heels yang membuat sepasang kakinya agak pegal.
Mya membawa kotak itu ke sisi jendela, meletakannya berjejer rapi di sana-agar pemandangan di kamar sedikit hijau. Ia angkat lagi salah satu kaktus, mengajaknya berbicara. "Jadi, menurutmu aku bisa minta penjelasan atau enggak? Mau bagaimana pun aku istrinya, walaupun itu nggak akan berarti apa-apa, aku ini cuma tameng, cuma perisai di mata dia. Kita bisa tumbuh besar sama-sama, kamarku sekarang tempat tinggalmu." Ia sedikit gila, tapi rasa sepi membuatnya benar-benar resah, jika di rumah Mya bisa berbincang dengan anak rumah sebelah meski usianya lebih tua dari Mya, tapi setiap Mya butuh sebuah nasihat maka ia akan selalu mendapatkannya. Ia rindu pulang ke rumah, tempat yang benar-benar bisa disebut rumah, ada kehangatan dan rasa ceria meski hanya tinggal sendirian. Ada kebebasan mutlak.
***
Seseorang takkan bisa tidur tenang jika perutnya terus saja berdemo ria, terlebih sejak pulang kantor ia sama sekali tak makan apa pun. Sekarang waktu menunjukan pukul sebelas malam saat Mya putuskan beranjak dari lelapnya, ia masih sangat mengantuk, tapi perutnya terus saja berdemo meminta haknya segera dituntaskan. Perempuan itu mengalah, ia beranjak dari ranjang seraya kenakan sendal japitnya. Mya tekan tombol lampu kamar pada tembok di dekat pintu, ia menguap beberapa kali seraya merenggangkan otot-ototnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika, Mungkin (completed)
ChickLit1 in metropop (15 Januari 2021) 1 in generalfiction (29 April 2021) "Jika saja aku bertemu denganmu lebih awal, Mungkin kisah kita akan berbeda." Cincin pernikahan harusnya menjadi sebuah lambang penuh arti, tapi bagaimana jika mereka hanya memasang...