JUNGKIR BALIK.

10.7K 910 13
                                    


Alasan mengapa seseorang bisa bahagia adalah saat ia sempat rasakan duka luka lebih dulu, atau saat ia justru tak pernah merasakan apa-apa alias hambar, sekelilinya tampak membosankan sampai menarik sudut bibir saja tak sudi, tapi tiba-tiba tertawa? Mungkin setangkai ilalang milik semesta tengah menggelitiknya dari sudut yang lain, yang tak ia tahu di mana itu, serta apa sebabnya. Lantas, alasan seseorang memilih diam saja kemungkinan besar tengah rasakan pening melanda pikiran, sesuatu yang membuatnya terus menerka-nerka mencari jalan untuk sebuah jalan keluar dalam labirinnya sendiri.

Kaktus-kaktus itu masih utuh di sana, meski tertiup angin tetap diam saja—seperti pemiliknya, jendela swing kamar telah terbuka lebar sejak pagi, menarik angin agar bertamu, tapi si pemilik kamar justru terduduk membisu.

Beberapa kali ia berkedip, menatap keadaan langit dari jendela tanpa bergerak sedikit saja, hanya embusan napas yang getarkan dada. Sebuah cincin berada dalam genggam, terbuka saat si pemilik menatapnya. Sampai hari ini ia belum benar-benar memahami fungsi benda itu, tahunya sekadar dipasang untuk menipu orang-orang, tahunya menjadi arti sebuah ikatan tali pernikahan, tapi apa benar? Ia bahkan masih membohongi diri sendiri.

Mya terpejam, tangannya menggenggam erat benda perak itu, ia menelan ludah seraya resapi sesuatu yang berlangsung akhir-akhir ini tentang sandiwara mereka yang terasa semakin jauh. Saat kelopak mata kembali terbuka, ia tahu sesuatu harus diperjelas antara mereka, sejak ia putuskan pulang lebih dulu dari Barcelona—bukankah Mya sempat menekan tentang sesuatu pada Dewa? Tiba-tiba perubahan sikap suaminya membuat Mya lupa, ia terbuai rayuan buana, membuatnya menutup mata.

"Aku harus tanya maksudnya apa," gumam Mya sebelum otaknya memerintah agar ia beranjak, cincin itu ia simpan di bawah bantalnya sebelum bergerak keluar kamar. Mya tatap pintu kamar sebelah tertutup rapat, tapi samar terdengar aktivitas di dalam sana. "Wa, bisa kita bicara?" Mya berkata sembari mengetuk pintu, beberapa hal yang terjadi antara mereka cukup memangkas jarak dan perlihatkan sisi akrab Mya.

Si pemilik kamar keluar, kaus oblong serta ripped jeans membalut tubuhnya, Mya takkan bohong jika Dewa lebih terlihat seperti remaja tujuh belas tahun ketimbang pekerja kantoran, belum lagi rambutnya yang mulai gondrong dan berantakan itu. Sesaat Mya terkesima begitu suaminya membuka pintu.

"Gue juga ada yang mau dibicarain sama lo," sahut Dewa, "masuk." Ia mendorong pintu lebih lebar agar Mya bisa masuk dan melihat jelas aktivitas di kamar itu, semua barang-barang masih tampak utuh sama meski Mya sudah kembali memindahkan miliknya ke kamar, tapi foto mereka di Barcelona tetap Dewa pasang di laci kecil sisi ranjang. Terlihat sebuah koper besar terbuka di permukaan ranjang, beberapa pakaian Dewa mengisi separuh tempat itu.

"Kamu mau pergi, Wa?"

"Iya, besok pagi gue mau ke Perth buat kunjungan kerja, mungkin empat hari di sana. Lo nggak apa-apa kan di rumah sendirian?"

"Aku nggak apa-apa, selama ini juga udah terbiasa sendiri." Mya tak menatap lawan bicaranya, ia justru beralih tatap isi lemari Dewa yang mulai berkurang saat beberapa setelan jas mengisi koper. "Kamu sering pergi buat kunjungan kerja?" Ia justru sibuk memilah pakaian Dewa, meletakannya di tumpukan pakaian lain dalam koper seperti seorang istri yang terbiasa mempersiapkan perlengkapan suaminya sebelum pergi.

"Enggak." Dewa bergeming perhatikan tingkah laku Mya, ia keluar saat perempuan itu semakin sibuk lakukan packing sampai melupakan tujuan utama menemui Dewa di kamarnya.

Saat Dewa kembali, istrinya sibuk meletakan beberapa peralatan mandi pada sebuah pouch bening yang sempat mereka beli saat ke supermarket bersama beberapa waktu lalu, Mya meletakannya terselip di tepi pakaian sebelum ia tarik penutup koper dan menarik resletingnya.

Jika, Mungkin (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang