Sebuah lukisan yang sudah dilapisi kertas koran tampak diapit pada ketiak kiri Mya, ia baru saja pergi ke salah satu pasar loak di dekat hotel, entah di mana pun itu pasar loak selalu sembunyikan sisi futuristik dari sebuah benda, banyak benda yang dianggap sudah tak layak pakai atau ketinggalan zaman, tapi masih miliki sisi seni yang bagus. Sebab tergerus waktu orang-orang akan menganggap barang itu terlihat kuno, tapi setelahnya akan sangat bernilai bagi kolektor barang antik, untungnya Mya salah satu tipikal perempuan yang suka berbaur dengan isi dari pasar loak entah di mana pun itu.Senyum kecilnya terukir saat membayangkan jika benda itu sampai di Jakarta nantinya, akan seperti apa ekspresi orang yang menerima. Hari ini Mya pergi sendirian, ia mencari keberadaan pasar loak terdekat dari internet, lalu mengarahkannya lewat maps di ponsel, ia bahkan tak segan memberhentikan taksi meski masih terlihat asing oleh keadaan sekitar. Tenang saja, bibir Mya yang masih sanggup bicara tentu bisa bertanya pada siapa pun—bahkan menawar harga, bahasa Inggrisnya cukup baik meski kebanyakan orang di sana berbicara bahasa Spanyol.
Ia tak melihat Dewa sejak pagi, mereka juga tak saling memberi kabar, kemungkinan besar Dewa masih berada di rumah temannya. Perempuan itu masih perlihatkan aura sumringah saat melangkah di koridor hotel menuju kamar inapnya, tapi dari radius sekitar dua meter ia terhenti usai dapati dua orang melangkah membelakanginya, salah satu postur tubuh mereka berhasil Mya kenali.
Apa itu Dewa? Apa dia juga Marisa?
Mya masih diam memperhatikan mereka hingga keduanya terhenti di depan salah satu kamar, lebih tepatnya kamar hotel di seberang kamar Mya dan Dewa, laki-laki itu terlihat meminta kunci dari Marisa, membukakan pintu sebelum keduanya masuk ke sana seraya menarik koper Marisa.
Mya tahu indra pendengarannya masih sehat, ia juga tahu jika tak ada petir yang bergemuruh di angkasa siang ini, tak ada getaran yang membuatnya rasakan turbulensi.
Lukisannya meluruh sentuh selasar begitu saja bersamaan tubuh Mya yang tiba-tiba ambruk dan terduduk di posisinya, harga diri Mya langsung jatuh begitu menyadari jika Dewa tak main-main dengan pengakuannya sebelum mereka tiba di Barcelona. Marisa telah datang, Mya sendirian. Pemeran utama laki-laki telah menemukan pasangan aslinya—mungkin saja, atau sutradara justru mendatangkan pemeran antagonis sebagai pengganggu hubungan mereka.
Mya yakin, hidupnya memang miliki sebuah alur, tapi ia tak ingin yang seperti ini, menyiksa batin setiap waktu, menjadikannya terlihat seperti istri yang bodoh.
Dering ponsel Mya terdengar, ia merogohnya dari saku mantel, terlihat nama Dewa di sana. "Hallo."
"Lo di mana?"
"Lagi cari lukisan di pasar loak."
"Sama siapa? Lo nggak nyasar, kan?"
"Aku masih punya mulut untuk tanya orang lain, kamu nggak perlu khawatir." Mya terus menatap pintu tempat menghilangnya sepasang manusia tadi.
"Sorry, gue yang agak berlebihan. Oh ya, gue masih di rumah teman, dengar lo yang bisa jalan-jalan sendiri bikin gue percaya kalau lo pasti baik-baik aja ditinggal sendiri. Kemungkinan gue balik nanti malam." Mya tak menyahut lagi perkataan Dewa, ia biarkan panggilan itu berakhir tanpa ada ucapan 'sampai jumpa' atau 'tolong hati-hati', harusnya sang suami bisa mengatakan salah satunya jika ia tinggalkan sang istri di tempat asing sendirian, tapi hasilnya? Mya buang waktu percuma.
Ia benar-benar tahu hasilnya sekarang, ia menyadari bagaimana sakit yang selalu ditahan tiap waktu—bahkan ketika Mya sama sekali tak menemukan penyembuh, tak ada obat dari sakit hati—selain waktu, tapi harus sampai kapan? Ia masih bertahan dengan laki-laki di balik pintu kamar nomor 125 itu, tapi bukan dengan Mya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika, Mungkin (completed)
Chick-Lit1 in metropop (15 Januari 2021) 1 in generalfiction (29 April 2021) "Jika saja aku bertemu denganmu lebih awal, Mungkin kisah kita akan berbeda." Cincin pernikahan harusnya menjadi sebuah lambang penuh arti, tapi bagaimana jika mereka hanya memasang...