2020 | with Mingyu

1K 136 29
                                    


Tanpa sepengetahuan Jihyo, Mingyu pulang lebih cepat dan itu jelas membuat Mina kalang kabut ketika melihat Mingyu yang kini berdiri di depan pintu masuk.

Bian di pangkuan Mina melambaikan tangan pada sang ayah sambil tersenyum lebar.
Dan sore itu, Mingyu tidak menampakkan senyumannya sedikitpun.

Mingyu menemui Jihyo, mengabaikan Mina yang masih tampak senang bermain bersama Bian.

"Gue besok mau pindahin Bian ke daycare lain." Jihyo terdiam, tak mampu menjawab apa-apa, matanya tampak sembab. Ia menangis.

"Ji? Lo denger gue?"

Jihyo hanya mampu merespon dengan tatapan matanya yang tampak kosong, ia berdiri di hadapan Mingyu.

"Gyu, gue tau lo sakit hati banget, gue tau gimana lo hadapin semua ini sendirian. Tapi buat kali ini aja Gyu, tolong... sisa waktu dia cuma 5 bulan lagi."

Seolah mengerti, Mingyu membatu. Lututnya melemas seketika.

Apakah ini alasan Mina nya kembali lagi?

"Maksud lo... apa?"

"Mina sakit. Lebih jelasnya lo tanya dia, gue udah gak bisa ngomong apa-apa lagi gue sedih banget Ya Tuhan..." Jihyo kembali menangis, terisak dengan keras dan Mingyu segera meninggalkan ruangan wanita itu.


Melihat Mina dan Bian dari kejauhan, Mingyu memejamkan matanya kuat-kuat.

Haruskah? Haruskah egonya ia kesampingkan untuk saat ini? Saat itu juga bukan kemauan Mina untuk meninggalkannya dan Bian.

Kedua orang tua Mina yang bersikeras. Bahkan sampai mengurung Mina karena Mina berkali-kali mencoba kabur.

Merasa diperhatikan, Mina menggendong Bian dan menuju ke arah Mingyu, yang tengah menarik dan menghembuskan nafasnya berkali-kali, mencari ketenangan.


"Maaf aku lancang, Mas. Aku cuma mau ketemu Bian." ucap Mina lembut. Ia pun hendak menyerahkan Bian pada Mingyu.

"Bian sama Papa ya,.. Mmm, Mama— eh, Aku pulang dulu." sambung Mina yang segera memindahkan Bian di pangkuannya pada Mingyu, namun Mingyu menahannya.

"Gendong saja."

"Y— ya?" Mina tampak terkejut, ia bisa melihat sorot mata yang tulus dari Mingyu.

Pemikirannya yang kemarin ia ubah. Karena Mingyu tidak berubah, lelaki ini tetaplah lelaki yang sangat baik baginya.

"Aku izinkan kamu bertemu dengan Bian."

Kedua mata Mina berbinar bahagia, hampir ia menangis karena haru, "Beneran, Mas?"

Mingyu mengangguk, "Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk menjadi seorang ibu untuk Bian." ucap Mina lembut, seraya menciumi kepala Bian yang tertutup rambut tipis.

Mingyu masih terdiam, tak bisa berkata-kata antara rasa terkejut, sedih, dan tidak menyangka. Mina di hadapannya, akan pergi.... selamanya? Dalam waktu lima bulan...?

"Aku boleh datang ke rumah kan, Mas?" Mingyu mengangguk, seolah tersihir, ia akan melakukan apa saja untuk Mina. Dari dulu, hingga sekarang.


"Mina..."

Menoleh, Mina tersenyum "Iya, Mas?"

"Apa.... yang telah... terjadi?" tanya Mingyu, kedua matanya berkaca-kaca, menatap mata Mina yang juga tak kuasa menahan tangisnya saat itu juga.

Mina memalingkan wajahnya, mengusap air matanya dan tersenyum.

"Aku menganggap ini balasan dari Tuhan karena telah meninggalkan kamu dan anak kita, Mas."

Mingyu menggelengkan kepalanya dengan sangat keras,

"Tapi itu bukan kamu, itu— kedua orang tua kamu!" Mingyu hampir berubah menjadi emosi, namun Mina segera meraih tangan Mingyu yang terkepal, mengurai tangan besar itu, mengusapnya dengan lembut.

"Anggap saja, aku menjalankan karma atas apa yang telah mereka perbuat. Aku pantas, dihukum seperti ini."


**

Bian tak datang ke daycare lagi. Karena Mina mengurusnya di rumah Mingyu setiap hari. Nyaris tak hilang dari pandangan matanya.

Setelah meminta izin untuk merawat Bian, Mina juga meminta izin untuk setidaknya... menjadi istri yang baik bagi Mingyu.

Maka dari itu, kedua orang tuanya tidak menyia-nyiakan kesempatan lagi. Mereka menyetujui, bahkan memohon dan berlutut dihadapan Mingyu.

Tidak untuk kembali, namun hanya untuk melengkapi bagian cerita yang pernah hilang.

"Mas, ayo sarapan dulu." ajak Mina ketika Mingyu keluar dari kamar. Mingyu mulai membiasakan diri dari hari ke hari.

Melewati pagi, siang, dan malam bersama Mina. Masih terasa seperti mimpi, namun sentuhan wanita itu nyata, suara wanita itu menyapa dan nyaring terdengar.

"Kamu jangan lupa minum obat, kalau ada apa-apa, hubungi aku secepatnya." Mina mengangguk.

Tak lupa Mingyu juga berpesan pada asisten rumah tangganya, jika terjadi sesuatu pada Mina, untuk segera menghubunginya dan rumah sakit.

"Bian, ayo dadah dulu ke Papa." ucap Mina dengan suara kecil dan menggoyangkan tangan Bian untuk melambai pada Mingyu.

Sebelum memasuki mobil, Mingyu mengecup pipi Bian terlebih dahulu.

"Papa berangkat ya," ucapnya, kedua matanya lalu bertemu dengan Mina, Mingyu tersenyum canggung, meski akhirnya ia memberanikan diri— berharap tidak dilayangkan pukulan keras —

"Aku berangkat." ujarnya setelah mengecup dahi Mina, Mingyu segera berjalan menuju ke mobil. Menutupi kegugupannya.


Sementara Mina tersenyum, tersipu malu.

***

^_^

[Oneshoot Collection] From : 1990 - Myoui MinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang