Malas, ingin pulang, tidur, dan beristirahat.
Itu yang Mina rasakan ketika berkumpul dengan keluarga dari suaminya.
Bibirnya bisa mengulas senyum, kepalanya bisa mengangguk patuh, namun hati Mina tidak dapat berbohong bahwa ia tak nyaman berada disini.
"Le, kapan mau jadiin Ibumu ini Oma?"
Mina hanya mengalihkan pandangan ketika mendengar pertanyaan ibu mertua kepada suaminya.
Suaminya hanya bisa mengendikkan bahunya, sambil menatap Mina lalu menyenggol sikut Mina.
"Minanya sibuk kerja, Bu."
Mendengar jawaban suaminya, Mina segera membuat pertahanan bagi dirinya sendiri. Ia siap mendengar omelan dari Ibu mertuanya.
"Udah nikah bertahun-tahun lho, Mina. Mau ditunda sampai kapan lagi? Ibu ngiri lho ngeliat teman-teman Ibu udah sering pamerin cucunya." ujar sang ibu mertua, Mina hanya tersenyum kaku.
"Masih belum tau, Bu. Apalagi ngeliat kondisi sekarang. Si Mas belum dapet kerjaan, aku juga gaji cuma— "
"Anak itu ngedatengin rejeki lho, Min. Kamu gak perlu khawatir masalah itu. Anak Ibu juga bukan orang bego yang bakalan diem aja kalau anak istrinya kelaperan." potong Ibu mertuanya, Mina hanya tertawa sinis. Kali ini, ia tidak bisa menahannya lagi.
"Iya Bu, percaya kok aku. Tapi, ya kita juga harus realistis Bu, perlu persiapan yang matang dulu."
Ibu mertua Mina yang sedang melipat handuk segera berhenti, lalu menghembuskan nafas dengan berat dan menatap Mina, lalu beralih pada anak semata wayangnya.
"Susah ya, punya menantu pinter ngejawab terus kalau dikasih tau. Istrimu emang gitu dirumah?"
Suaminya mengangguk,
"Kemarin malah marah-marah nuduh aku selingkuh, Bu. Padahal aku ketemu sama orang buat nanyain tentang trading."
Mina memejamkan matanya, ketika ibu mertuanya mengomel pada dirinya.
**
Tak Mina sangka, kenal sejak bersekolah di SMA dan tiga tahun berturut-turut satu kelas, berkenalan lebih dekat ketika pernah sama-sama bekerja diluar kota, dan berakhir dengan ikatan pernikahan, membuahkan hasil seperti ini.
Suami yang ia kira akan selalu bekerja keras, memperjuangkan dirinya dan kebahagiaan berdua, membela dirinya didepan keluarganya, ternyata malah menjadi penyebab dimana Mina ingin mengakhiri hidup setiap hari.
Selama sebelum menikah, apakah Mina melihat sifat dan sikap jelek suaminya? Tidak. Ia hanya mengenal suaminya yang baik, perhatian, pengertian, dan selalu membuat ia bahagia.
Nyatanya? Kebahagiaan saat berpacaran bukanlah cermin yang sama dari kehidupan pernikahan.
Mina juga tidak tahu, bahwa ibu mertuanya akan seperti ini. Karena pada awalnya, ibu mertuanya menerima saja. Namun, siapa sangka ternyata sosok ibu mertuanya sama seperti ibu mertua di sinetron.
"Kamu denger kata Ibuku tadi gak?" Sang suami mengusap bahu Mina, Mina merasakan tangan suaminya melingkar di perutnya.
"Aku capek." Mina menahan tangan sang suami yang hendak membuka kancing piyamanya. Lalu sedikit menjauh dan menaruh tangan suaminya kebelakang dengan lembut.
Penolakan yang membuat harga dirinya merasa direndahkan, suami Mina tertawa keras.
"Kamu mau layanin aku kalau duitku banyak aja ya?"
"Gak ada bedanya kamu sama pelacur."
Perkataan itu membuat Mina segera berbalik, lalu melihat pada suaminya yang sedang terduduk menatap ke arahnya.
"Kenapa? Gak terima?"
Menahan air mata dan rasa kesal, Mina membuka mulutnya untuk bersuara.
"Pelacur yang mana? Yang sering kamu pake?" Sang suami menatap Mina dengan mata tajam. Hendak menyela namun Mina segera melanjutkan pembicaraannya.
"Denger ya, Mas. Kita nikah bukan cuma buat berhubungan seks aja. Lebih luas dari itu, semua masalah dan kehidupan realitanya sangat kompleks."
"Kenapa aku nolak kamu? Aku capek Mas seharian kerja, dan pulangnya harus dengerin omongan gak enak dari ibu kamu."
"Aku bahkan gak tau sekarang aku hidup sama siapa. Kamu bersikap seolah bukan orang yang aku kenal dulu. Entah ini memang kamu yang berubah, atau sifat kamu sejak dulu emang kayak gini tapi kamu pinter buat sembunyikan semuanya." sambung Mina, menangis. Mina tidak tahan lagi untuk menahan air matanya.
Terdiam, setengah jam hanya terdengar tangisan Mina.
"Kemana?" Tanya sang suami ketika Mina menarik jaket dari lemari, membawa dan memasukkan dompet kedalam tasnya. Tak lupa, kunci mobil ia genggam.
"Aku mau pulang ke rumah Bunda. Sambil mikirin kelanjutan pernikahan kita." Mina mengambil handphonenya yang sedang dicharger.
Mina hendak membuka pintu kamar, lalu menatap sang suami. Mina mengambil uang tunai dari dompetnya.
"Buat makan selama aku gak ada." Mina membuka pintu, lalu pergi.
Suara mesin mobil tengah malam memenuhi kompleks perumahan yang Mina tinggali. Menangis sepanjang jalan sudah pasti.
Tak jelas tujuan, mobil Mina mengambil arah menjauh hampir keluar kota. Namun, di perbatasan ia menghentikan mobilnya tepat di minimarket dua puluh empat jam.
Mina turun, membawa kartu debitnya dan segera masuk kedalam, memilih mie instan, onigiri, dan es kopi hitam sebagai makan tengah malamnya.
"Sudah siap, Bu. Totalnya— "
"Biar saya yang bayar." Suara itu membuat Mina menoleh ke belakang.
Hendak menolak, namun isyarat dari lelaki disampingnya mampu membuat Mina terdiam.
"Ketemu lagi." ujarnya, Mina hanya tersenyum kecil.
Mie instan cup diletakkan bersamaan dengan makanan lain diatas meja, lelaki itu menarik kursi untuk Mina duduk.
"Makasih, padahal gak usah repot-repot." Ujar Mina, Wonwoo tersenyum kecil.
"Aku boleh nemenin makan?" Mina mengangguk, "Boleh,"
"Jadi, kenapa tengah malam gini yang harusnya dipeluk suami dirumah malah keluyuran malem-malem?" Wonwoo bertanya, namun diselingi nada bercanda yang membuat Mina juga menanggapi lebih santai.
"Bosen dipeluk terus, sesak." kata Mina, Wonwoo tersenyum.
"Kadang juga membosankan, betul?" Mina tertawa mendengar pertanyaan Wonwoo.
"Sedikit." tutur Mina lalu menyantap mie instannya.
"Kutebak, lagi berantem?"
"Kamu kayaknya paling tau tentang perempuan kalau lagi ada masalah, ya?"
Wonwoo mengangkat bahunya, sombong.
"Bisa dibilang gitu. Aku juga tau cara menghiburnya."
"Berminat?"
Mina menimbang-nimbang.
Bukan tawaran yang buruk.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
[Oneshoot Collection] From : 1990 - Myoui Mina
FanfictionAngst, Mature, Fluff, Drabble, etc. myoui mina x boys.