/44.00/

143 75 29
                                    

Happy reading 💜

---

"Apa? "

"Apa? " Taehyung balik bertanya.

"Kau bilang ingin cerita, Tae," tegur Ae-ri tidak sabaran. Taehyung terlihat gontai, seakan tidak mau menceritakan yang sebenarnya kepada Ae-ri. Justru hal itu malah membuat rasa ingin tahunya memuncak.

Dedaunan yang mulai jatuh ke tanah menandakan musim gugur akan segera tiba. Pohon besar yang biasanya berada di halaman belakang kampus guna melindungi para mahasiswi dari panas kini sudah mulai rontok.

Kelas  hari ini sudah berlangsung sejak lima belas menit yang lalu. seperti dugaan awal, Ae-ri akan membolos hari ini.

Taehyung menyingkirkan sebuah daun yang hinggap di puncak kepala Ae-ri. Taehyung tahu Ae-ri sudah tidak sabar ingin mendengarkan ceritanya, tetapi jika di jelaskan secara mendadak gadis itu pasti akan shock dan tidak terima. Kemudian menanyainya segenggam pertanyaan lagi.

"Jimin akan pindah ke London," ujar Taehyung dalam sekali tarikan nafas.

"London? " ulang Ae-ri dijawab anggukan samar kepala Taehyung.

"Apa keluargamu yang memaksanya? Mereka merencanakan itu semua kepada Jimin? " tutur Ae-ri tanpa menoleh ke arah Taehyung yang nampak sudah tidak nyaman dengan obrolan mereka.

"Iya dan Jimin sendiri yang menyetujuinya," jawab Taehyung. Mencekat tenggorokannya agar tidak mengeluarkan nada tinggi, ia tidak mau terlihat seperti sedang emosi.

Taehyung tidak mungkin cemburu hanya karena seseorang seperti Park Jimin. Itu tidak sepatutnya terjadi.

Ae-ri memajukan wajahnya, mengikis jarak sepenggal diantara dirinya dan Taehyung itu.

"Tidak mungkin, Jimin tidak pernah ada niatan untuk belajar ke luar negeri. Dia ingin membuka bisnisnya sendiri di Seoul, itu keinginnanya. Bukan untuk tinggal atau kerja di London. Apa kau yakin itu atas kemauannya sendiri? " sergap Ae-ri menggebu-gebu.

Dan sepertinya Ae-ri terlalu antusias melayangkan pertanyaan hingga tak menyadari waut wajah Taehyung yang sudah mengeras.

"Seberapa dekat kalian sebenarnya? " tanya taehyung memotong. Suara dingin Taehyung terdengar asing di telinga Ae-ri.

Mulut Ae-ri terbuka sudah ingin membalas sebelum Taehyung kembali memotongnya. Kata-kata yang hendak Ae-ri keluarkan harus ia telan lagi.

"Hanya sebatas tetangga-an? Kurasa makanan kesukaanku saja kau tidak tahu," nada bicara Taehyung meninggi. Pria itu berusaha terlihat santai namun nada bicaranya berkata lain.

Ae-ri terdiam seribu bahasa, dirinya memang sampai saat ini belum mengetahui kegemaran Taehyung lebih dalam. Sepertinya hubungan ini memang sedikit tidak setimpang. Taehyung selalu melakukan apapun untuk dirinya tetapi sebaliknya Ae-ri seolah orang buta yang tidak tahu apa-apa.

Taehyung bangkit berdiri bergegas untuk meninggalkan taman. Emosi menguasai jiwanya saat ini, Taehyung tidak mau gegabah. Sepertinya menjauh untuk sementara waktu adalah hal yang baik.

Sebelum benar-benar pergi, Taehyung menyempatkan diri untuk berbalik.

"Asal kau tahu, appa tidak akan mengirimnya jika dia sendiri tidak mau. Bukahkah kau harus mendengarkan dari dua sisi baru menyimpulkan? "

Setelah itu Ae-ri benar-benar sendirian di sana. Merenung seraya meratapi nasib hubungannya. Otaknya kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Tidak tahu harus percaya kepada siapa.

Semua terasa hambar. Antara salah dengan tidak.

---

"Ae-ri! "

Dari arah belakang, Hae-won berlari menghampiri Ae-ri. Ia mengambil tempat di samping gadis itu. Koridor kampus masih sepi saat ini, mengingat seluruh mahasiswa masih di dalam kelas, hanya ada beberapa yang berlalu-lalang.

"Gwenchanna? Kenapa kau menangis, eoh" tanya Hae-won lembut, terselip nada kekhawatiran disana. Hae-won menyeka air mata Ae-ri yang sudah turun deras menggunakan jempolnya.
*tidak apa-apa

"Jangan menangis, kau gadis yang kuat, " Hae-won menarik Ae-ri ke pelukannya. Membiarkan Ae-ri menumpahkan segala keluh kesahnya di pundaknya.

"Aku akan selalu menemanimu, kau tidak sendiri," selagi mengucapkan kalimat-kalimat yang dapat menenangkan Ae-ri, Hae-won menepuk pelan bahu gadis itu.

Yang ia tahu, saat ini Ae-ri hanya butuh sandaran. Hae-won memang tidak tahu masalah apa yang sedang di hadapai Ae-ri saat ini, tapi sebagai sahabat ia akan selalu berada di sampingnya dan mendukungnya apapun yang terjadi. Termasuk saat ini.

Tanpa mereka sadari sepasang mata memantau kegiatan mereka berdua dari sudut dinding yang menghubungkan halaman kampus dengan kantin.

Itu Kim Taehyung.

Setelah beberapa saat memantau ia pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

---

"Ingin cerita? " tawar Hae-won.

Kini Ae-ri sudah lebih baik. Jus stroberi dari Hae-won berperan besar. Untungnya tadi Hae-won sempat membelinya ke kantin.

Ae-ri menangguk samar, "Gomawo, " ujarnya berterima kasih.

"Aku ini sahbatmu, sudah sepantasnya, " Hae-won mengambil ahli kotak jus stroberi yang tinggal sedikit itu kemudian menaruhnya di bangku taman. Ia menggeser tubuhnya mendekat ke Ae-ri.

"Sudah lebih baik? " tanya Hae-won lembut seraya mengelus punggung tangan Ae-ri.

Samar-samar Ae-ri terlihat mengangguk.

"Mian, aku tidak sempat mengejar Jimin tadi," Hae-won teringat aksi kejar-kejaran tadi.

Walaupun badan pria itu tergolong kecil tapi langkahnya sangat gesit. Hae-won berhenti sedetik untuk mengambil nafas saja Jimin sudah masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan perkarangan kampus.

Bahkan dipanggil puluhan kali pun tidak mau menoleh. Apa sebenarnya mau pria itu.

"Tidak apa-apa, aku juga minta maaf. Gara-gara masalah ini kau jadi ikut bolos, " ujar Ae-ri tak enak hati.

"Ku sedang ada masalah dengan Taehyung? " terka Hae-won, namun bisa dipastikan terkaannya itu benar adanya, bisa dilihat dari ekspresi wajah Ae-ri yang sudah menegang.

"Kami sedikit berselisih paham tadi," jelas Ae-ri.

Terlintas raut wajah kecewa Taehyung ketika menatapnya. Sebenarnya Ae-ri tidak berniat untuk membela Jimin, tapi kendati sudah terjadi. Dalam suatu hubungan berselisih paham adalah hal yang lumrah.

"Gwenchana, itu hal yang lumrah dalam suatu hubungan. Suami istri saja bisa berantam, berselisih paham. Apalagi yang berpacaran," Hae-won mengeluarkan persepsinya. Walaupun tidak dapat membantu banyak, tetapi ia harap Ae-ri dapat lebih tenang sekarang.

"Kau tahu, kau terlihat seperti tante yang menasehati keponakannya dalam hal berpacaran," komentar Ae-ri tiba-tiba membuat Hae-won membulatkan matanya terkejut.

"Wah, kau memang berkepribadian ganda. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kau tadi jelas-jelas sedang bersedih dan sekarang kau menghinaku? " 

"Kau mengataiku tua? Bibi? "Hae-won menggeleng tidak percaya, padahal tadinya ia berniat menghilangkan keresahan hati Ae-ri. Tidak menyangka gadis itu akan membalasnya dengan kalimat kejam barusan.

"Mian-mian, aku hanya bercanda. Terima kasih suah mau mendengarkanku, ku akui pemikiranmu sangat dewasa," sudut bibir Ae-ri perlahan naik. Ia memeluk Hae-won guna menyalurkan rasa terima kasihnya.

Ae-ri beruntung bisa di pertemukan dengan sahabat modelan seperti Hae-won.

Hyper aktif dan dewasa.

---

Sincerely,
-A.W

10 Februari 2020

- Thanks for reading -

Destiny√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang