Peti mati sudah siap di tengah rumah duka. Jenazah Lili sudah didandani dengan apik, hingga ia tidak terlihat seperti orang yang sudah meninggal. Lili juga mengenakan gaun putih yang hampir mirip seperti pakaian terakhir yang ia kenakan, saat mayatnya ditemukan. Mataku sembab, sekaligus menahan kantuk yang teramat sangat. Semalam bukan malam terbaik bagiku, setidaknya bukan malam terburuk juga, karena aku sering mengalaminya. Hanya saja sudah agak lama sejak kejadian terakhir kali aku diganggu oleh 'mereka'.
Hanya duduk di barisan kursi panjang bagian belakang, memperhatikan lalu lalang keluarga dan kenalan Lili datang melayat. Aku mulai muak melihat tingkah Ramon. Dia menangis dengan hebat, seperti orang yang sangat berduka. Bagi semua orang pastilah wajar melihat sikap Ramon sekarang. Dua minggu lagi mereka akan menikah, namun mempelai wanita justru berada di peti mati sekarang. Tapi itu tidak berlaku bagiku.
"Yang tabah, ya. Tuhan lebih sayang Lili." Begitulah kalimat yang kudengar saat orang terakhir dari keluarga Lili menyalami Ramon. Menyampaikan perasaan berduka akibat kepergian wanita mungil tersebut. Sementara itu, di sisi peti mati, ruh Lili berdiri di sana. Masih memakai gaun pernikahan robek, basah, serta wajah yang tidak secerah mayat di depannya. Lili terus menatap tajam Ramon, penuh kebencian dan dendam.
"Yah, aku tau perasaanmu, Li. Entah apa aku harus bahagia atau sedih dengan keadaanmu sekarang. Yang jelas, Tuhan memang lebih sayang kamu," gumamku sambil menunduk, memperhatikan flat shoes hitam senada dengan warna pakaian yang kukenakan.
Gerakan kaki yang kubuat sama, memutar searah jarum jam, mendadak kuhentikan. Ketika sepasang kaki berdiri di depanku. Sepasang kaki yang sama bentuknya, seperti yang kulihat di toko buku kemarin. Sudah jelas siapa pemiliknya. Hanya saja kali ini, tubuhku tidak membeku. Dengan perlahan aku mendongak, agar dapat melihat wajah Lili dari dekat. Lili menatapku nanar, bibirnya bergetar menahan tangis.
Kamu harus beritahu orang tuaku, Ros, seperti apa kelakuan Ramon sebenarnya.
Aku tengak tengok saat kalimat itu terdengar nyaring. Padahal bibir Lili, yang kupikir adalah pemilik suara ini, terus menutup. Aku menatap Lili sambil sesekali memperhatikan sekitar. Berusaha meyakinkan diriku sendiri kalau suara yang kudengar memang berasal dari sosok di depanku sekarang.
Ros, bantu aku. Kamu nggak boleh diam saja!
Aku menarik nafas panjang. Bergumam untuk menanggapi perkataannya. "Li, ini bukan urusanku. Lagi pula, kalian nggak akan menikah, jadi Ramon nggak akan mendapatkan apa yang dia mau!" bisikan suaraku, sengaja ku tekankan tiap kata. Agar sosok Lili mendengar dengan jelas.
Semalaman dia terus muncul. Baik saat aku memejamkan mata, maupun membuka mata. Semua gambaran kejadian sebelum Lili terbunuh ditunjukan padaku. Ramon memang brengsek. Dia tidak mencintai Lili dengan setulus hati. Semua hanya karena kekuasaan, harta, dan tentu jabatan. Tentu ini bukan urusanku. Aku tidak ingin ikut campur masalah orang lain, lagi.
Jadi kamu mau aku terus datang? Kamu sahabatku, kan, Ros? Kamu tau bagaimana perasaanku. Aku nggak akan tenang, Ros, kalau Ramon tidak dihentikan.
"Dihentikan? Memangnya apa yang bakal dia lakuin sih? Dia udah nggak bisa sakitin kamu dan keluarga kamu lagi, kan?"
"Rosi!" bahuku ditepuk hingga aku menjerit.
"Astaga! Mey! Ngagetin aja!" pekikku. Wanita itu segera mendaratkan bokong nya di samping ku, sementara Lili langsung pergi. Aku tengak tengok mencari keberadaannya, karena sangat yakin kalau Lili tidak akan pergi jauh dari tempat ini.
"Heh! Cari siapa sih? Malah bengong!" Mey kembali membuat perhatianku buyar.
"Ssst! Diam dulu!"
"Apaan?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
TerrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...