13. Pemakaman Aidil

99 27 5
                                    

Bau busuk kian menyengat. Sejak semalam aku terus mencium bau tidak sedap. Semacam sampah basah yang sudah lama tidak dibuang. Atau bangkai hewan yang hampir mengering. Alhasil aku keluar kamar dan memeriksa sekitar. Aku sangat yakin, bau tersebut berasal dari luar.

Begitu pintu terbuka, Raja sedang berdiri di depan tong sampah ujung lorong. Di mana ada dua kamar kosong yang katanya sudah ditinggalkan penghuni lamanya. Dia memperhatikan tempat pembuangan sampah sambil berkacak pinggang.

Karena penasaran, aku pun mendekat. Aku yakin dia juga mencium aroma tidak menyenangkan ini karena kamar kami berdekatan.

Begitu berdiri di samping Raja, aku langsung menutup mulut dan menahan mual. Raja melirik lalu memberikan sapu tangan dari sakunya padaku.

"Itu ... Apa?" tanyaku membelalak mata. Raja mengambil sarung tangan dari saku celana dan memakainya. Dia lantas mengangkat tinggi-tinggi bangkai kucing yang terkoyak mengenaskan. Lalat memenuhi hampir semua bagian tubuhnya. Dengungan hewan kecil itu terasa sangat berisik. Apa yang Raja lakukan justru membuat bau busuk ini kian menyengat. Dia lantas memasukan bangkai tersebut ke sebuah kantung plastik besar. Tidak merasa jijik, dia juga mencari potongan tubuh lain serta isi perut binatang malang itu.

Aku mengalihkan pandangan dan memutuskan tidak ingin melihat lebih lama. Tapi ternyata bayangan tersebut sudah tercetak jelas dari ingatan. Hingga akhirnya perutku seolah diaduk-aduk. Berlari kembali ke kamar tanpa menutup pintu dan langsung menuju wastafel.

Perut yang belum diisi makanan apa pun sejak pagi, justru berontak minta dikeluarkan. Alhasil aku hanya muntah air karena semalam banyak minum air mineral. Kepalaku terasa berat, tubuhku lemas.

"Hey, lu nggak apa-apa, kan?" tanya Raja dari arah pintu.

"Huh. Iya."

"Mulai sekarang lu yang tanggung jawab buang sampah di tong sampah depan kamar lu sendiri, ya. Karena petugas kebersihan mulai kemarin nggak kerja lagi di sini."

"Apa?" tanyaku setengah menjerit.

"Nanti gue minta tong sampah di kamar sebelah di pindah aja. Lagian kosong gitu."

Rupanya tiap kamar akan mendapat jatah satu tong sampah besar, dan biasanya ada petugas kebersihan yang rutin mengambil sampah di sini.

Tapi bukannya kemarin dia yang sembarangan buang sampah di tong sampah lain. Aku melotot saat teringat hal ini. Segera berlari keluar sebelum Raja pergi jauh.

"Heh! Raja! Elu yang buang bangkai kucing itu di sana?!" tanyaku lebih menjurus pada tuduhan.

Raja yang berjalan agak jauh lantas berhenti. Di tangannya ada kantung plastik hitam, yang pasti berisi bangkai kucing tadi. Raja menoleh.

"Elu akan terbiasa dengan bangkai seperti ini. Apalagi kalau ada orang mati!" katanya lalu berlalu begitu saja.

Apa maksudnya? Orang mati? Bangkai?

"Raja, tunggu!" panggilku yang tidak lagi ia hiraukan. Aku pun menutup pintu dan berlari menyusul nya. "Raja! Sebentar! Maksud lu apa?" tanyaku berusaha mensejajari langkahnya.

Raja akhirnya berhenti, lalu menoleh padaku. "Setiap ada orang yang mati di daerah ini, pasti bakal ada bangkai hewan yang mati juga."

"Tapi ...."

"Jangan tanya kenapa, karena gue juga nggak tau alasannya!" Raja lantas kembali berjalan. Meninggalkanku yang berdiri diam di sini sendirian.

"Aidil?" gumamku, teringat anak kecil semalam.

.
.
.

Troli belanjaan ku sudah penuh. Sambil mengantre di kasir, aku iseng membuka media sosial milikku. Ternyata ada notifikasi permintaan mengikuti dari sebuah nama yang familiar. "Rangga?!" Senyum terbit dari bibirku saat teringat manusia satu itu. Entah mengapa selalu ada alasan aku tersenyum tiap mengingat Rangga.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang