17. Keanehan

89 27 4
                                    

Aku menekan kepala karena masih menahan rasa pusing sejak bangun tidur beberapa jam lalu. Suasana cafe tidak begitu ramai, pun tidak terlalu sunyi. Beberapa orang memilih menikmati sarapan di tempat ini, alih-alih sarapan di rumah masing-masing. Seperti kami contohnya. Pergi dari apartemen untuk sementara waktu sepertinya cara jitu melepas penat.

Oma dibawa ke rumah sakit oleh Raja. Trauma akan kejadian semalam pasti membuat jiwanya terguncang. Tentu lebih aman untuk Oma jika jauh dari apartemen. Aku takut Oma akan menjadi sasaran makhluk iblis itu selanjutnya.

Langit sedikit mendung. Tapi hujan belum juga turun. Cuaca ini membuatku ingin menikmati secangkir espresso hangat.

"Ini bill-nya. Sini, bayar!" ujar Nita menagih uang pada kami. Satu persatu membuka dompet dan memberikan beberapa lembar uang untuk makanan yang kami pesan kali ini. Tidak ada acara traktir men-traktir. Itu berlaku hanya jika salah satu dari kami ulang tahun, atau syukuran atas keberhasilan salah satu dari kami saja. Prinsip yang kami pegang teguh agar tidak ada masalah mengenai siapa yang lebih sering membayar makanan saat hangout bersama.

"Habis ini kalian pulang?" tanyaku tanpa menatap mereka. Hanya memutar tempat sendok dan garpu di meja.

"Iya, kerja dulu gue kali, Ros. Nanti kita lagi. Atau elu aja nginap di tempat gue, gimana?" tanya Mey.

"Lu gimana, Ndi? Nit?"

"Gue balik deh kayaknya. Mama ngajakin ke rumah abang gue nih. Nginap. Sorry, ya," sahut Nita menunjukkan sebuah pesan di layar pipihnya.

"Tenang, Ros. Nanti habis pulang kerja gue ke tempat elu lagi," tukas Indi bersemangat.

"Tumben lu!" hardik Mey.

"Gue tau maksud terselubung ni bocah, Mey," timpalku.

"Hah? Apaan! Maksud terselubung?" Mey kebingungan.

"Oh iya bener. Bener. Pasti gara-gara cowok sebelah kamar Rosi nih! Ngaku kagak lu!" desak Nita menunjuk Indi yang sedang senyum-senyum.

"Jangan pada jahat gitu kenapa sih, ke gue! Kan lagi usaha!" bela Indi.

"Ckckck. Lu nggak takut setan di tempat Rosi, Ndi? Gila! Luar biasa saudara wanita kita yang satu ini!" Mey bertepuk tangan bangga. Sementara Indi segera melemparnya dengan kotak tissue di depan.

"Eh, tapi Ros, elu nggak naksir sama Raja, kan?" tanya Indi menyelidik.

Aku meliriknya sinis, "Dih, ngapain gue suka sama cowok model Raja. Jutek banget. Sadis pula. Dia baik ke gue kalau gue mau mati doang."

"Ih, keren tau. Cowok yang gitu! Kalau gitu buat gue aja."

"Ambil sana. Lagian bukan punya gue, ngapain elu minta ijin."

"Ya kali elu naksir Raja. Kan ganteng."

"Ganteng bukan prioritas saya, ya!"

"Oh berarti elu sukanya yang nggak ganteng gitu, Ros?"

"Ya lu lihat aja gimana tampang Rangga. Ganteng nggak?" tanya Mey menyindir.

"Rangga? Oh, elu naksir Rangga, Ros? Ciee!" ledek Nita. "Eh tenang aja. Dia gue WA, suruh ke sini. Bentar lagi paling dateng itu anak sinting!"

"Ih, apaan sih! Kata siapa gue naksir Rangga!"

"Halah, ngaku aja lu. Mata lu nggak bisa bohong! Kita kenal udah berapa lama coba? Kelihatan kali, gelagat elu kalau naksir Rangga!" tuding Mey.

"Iya bener. Emang elu naksir Rangga, kan? Ngaku aja, Ros. Kayak sama siapa deh pakai jaim gitu." Indi menambahkan.

"Ya ampun!" ungkapku makin menekan pelipis.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang