56. lee?

59 16 0
                                    

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri. 

"Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.

Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"

Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines."

"Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"

Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya.

"Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian.

"Rangga?" tanya Lee saat mereka berjabat tangan. "Sepertinya aku pernah mendengar namamu di sebut Ines," tambah Lee sambil mengingat sesuatu. Sementara aku bingung, karena merasa tidak pernah membahas tentang Rangga pada Lee.

"Benar, kah? Semoga bukan sebuah kisah menyedihkan, ya?" sahut Rangga menanggapi, sedikit terdengar menyindir. Aku hanya menyikutnya lalu kami berdua tertawa. Tapi, Rangga justru menggenggam tanganku. Lee yang melihat hal itu, hanya mengangguk paham.

"Yang jelas, sebuah kisah yang begitu dalam sepertinya. Aku hanya mendengar Ines mengumam kan namamu, saat dia pingsan," jelas Lee.

"Benar, kah? Kapan?" tanyaku yang memang tidak tau.

"Tidak penting kapan. Yang penting sekarang, dia sudah bersamamu, kan, Ines?"

Perkataan Lee ada benarnya juga. Tidak perduli masa lalu kami seburuk apa kemarin, yang penting sekarang, aku dan Rangga sudah kembali bersama. Tidak ada sebuah kalimat ungkapan, seperti kita berpacaran, atau kita balikan, tapi semua yang terjadi semalam dan sekarang, juga beberapa hari lalu, sudah menjelaskan. Kalau kami kembali berkomitmen seperti dulu. Lagi pula kami bukan lagi anak SMA yang harus melakukan ritual semacam itu untuk memulai sebuah hubungan.

"Jadi siapa mereka?" tanyaku saat kami sudah berada di sebuah cafe. Kejadian tadi cukup menyita perhatian beberapa orang. Apalagi saat Lee dan anak buahnya datang. Bak film Hollywood semua terpaku melihatnya.

"Mereka gengster."

"Lalu kenapa mereka mengincar ku? Apa salahku?"

"Sebenarnya ... Mereka adalah orang-orang di balik kasus kematian Mike. Kamu ingat?"

"Mike? Mike teman kita di Dojang?"

"Iya, betul. Kasus Mike dulu, melibatkan kita semua di Dojang, kan? Pembunuhnya berhasil kita tangkap dan adili. Tapi sayangnya, dia mati di penjara. Dan kini ... Ayahnya, sedang menuntut balas. Bahkan semua teman kita di Dojang, banyak yang diserang. Dan ... Meninggal. Hanya beberapa saja yang berhasil selamat itu pun mereka mengalami koma, dan lumpuh."

"Apa? Kenapa bisa begitu? Jadi mereka ke sini juga ingin membunuhku?"

"Kurang lebih nya begitu, Ines. Aku sengaja datang ke sini sebenarnya untuk memperingatkan mu. Tapi ternyata mereka lebih dulu menyerang mu. Mulai sekarang kau harus lebih hati-hati."

Aku menatap Rangga yang duduk di samping ku. Tangannya erat menggenggam tanganku. Membuat rasa cemas makin melanda. Kini aku senang ada dia. Tapi dalam kondisi seperti ini, aku justru mengkhawatirkan dia. Khawatir jika terjadi sesuatu karena ku.

Masih terbayang jelas bagaimana kehidupanku di Korea saat itu. Memang gangguan tak kasat mata bukan hal yang utama. Tapi teror gengster justru yang menjadi momok paling menakutkan. Aku terlibat beberapa kejadian di Korea. Dari kasus penculikan Yuna, kematian Mike, dan beberapa hal berbahaya lainnya. Semua berawal dari aku dekat dengan Lee. Tapi sebenarnya itu merupakan pilihanku sendiri. Karena aku yang memilih terlibat. Bukan Lee.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang