"Jadi kamu kenal sama Rangga, nduk?" tanya Papa. Kami sudah berada di meja makan, menikmati hidangan makan malam yang sudah Bu Siti dan Mama sediakan.
"Iya, Pah." Aku hanya berusaha bersikap senormal mungkin di depan mereka. Duduk di samping Iqbal membuat aku makin kikuk, karena sesekali dia membuatku selalu ingin memukulnya. Karena sikapnya yang mulai iseng.
"Tapi kenapa bagai nggak kenal, Nes?" tanya Iqbal dengan senyum tipis menggoda.
Aku segera melirik ke arahnya, menunjukkan bola mata yang membulat sempurna. "Berisik! Jangan bawel!"
"Jadi selama satu tahun ini, Ines pergi ke Korea? Pantas nggak pernah main lagi ke rumah." Om Heri mulai membuka lagi obrolan yang justru membuat situasi di antara aku, Mama Rangga dan Rangga sendiri, sulit. Bahkan sejak tadi aku tidak mendengar satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Dia hanya tersenyum, lalu mengangguk dan menatapku saat ada pertanyaan terlontar.
"Iya, dia ini cukup sukses di sana. Kemarin serial terbarunya keluar. Mungkin sekarang sudah tayang di TV lokal di sana. Bahkan ada di aplikasi film-film Korea, kan, sayang?" tanya Mama.
"Iya, Mah. Udah ada. Maaf, ya, Om, saya nggak sempat pamit, soalnya kemarin buru-buru sekali. Oh iya, kabar Nin gimana?"
"Sehat. Cuma sekarang lagi ikut anak bontotnya. Cuma kami sedikit cemas, takut Nin bersikap aneh-aneh lagi."
"Nggak apa-apa, Om. Namanya juga orang tua. Biasanya sikapnya kembali menjadi anak-anak."
"Nik, cobain makanan ini, aku yang buat loh. Aku ingat, dulu kita suka beli di cafe dekat sekolah, kan?" kata Mama menawarkan salah satu menu yang memang dia masak tadi. Mama memang pandai memasak, sama seperti Mama Rangga.
"Iya, Ren. Masakan kamu memang enak." Kedua wanita itu akhirnya tenggelam dalam percakapan intim sesama sahabat SMA.
"Rangga kerja di mana?" tanya Iqbal tiba-tiba, aku pun segera menoleh padanya sambil melakukan hal yang sama seperti tadi. "Kenapa sih? Nggak boleh gue tanya?"
"Kalian berdua selalu saja berkelahi. Padahal baru ketemu kemarin-kemarin, tapi seolah udah kenal lama, ya?" tanya Papa mencandai kami.
"Itulah namanya belahan jiwa, Pah. Berarti kami itu memang ditakdirkan bersatu, sejauh apa pun kami terpisah oleh takdir atau keadaan, akhirnya kembali bertemu. Bahkan sejahat apa pun komentar orang, kalau jodoh ya nggak akan ke mana. Iya, kan, Nes?" aku yakin pertanyaan Iqbal berniat menyindir aku dan Rangga.
Aku hanya menelengkan kepala dan merasa Iqbal makin lama makin menjengkelkan.
"Aku udah selesai makan. Duluan ya, Pah." Aku segera beranjak dengan membalik sendok garpu.
"Loh, belum habis, sayang," cegah Papa.
"Lupa. Ada deadline malam ini. Besok harus selesai. Maaf saya duluan, Om, Tante."
"Oh iya iya. Nggak apa-apa, Ros. Semangat, ya. Semoga makin sukses karirnya," tukas Om Heri terlihat paling antusias. Aku hanya tersenyum lalu pergi dari meja makan. Aku yakin Papa Rangga itu belum tau tentang masalah yang menimpa aku dan putranya, juga istrinya. Semua terasa kikuk, dan membuatku tidak nyaman.
.
.
.Tubuhku langsung ambruk ke ranjang. Menatap langit-langit dengan berjuta pertanyaan dan hati yang mengganjal. Mengapa takdir harus mempertemukan kami kembali. Di saat aku mati-matian berusaha menghindari Rangga, bahkan memutuskan pergi menjauh ke negeri seberang, justru sekarang kami kembali dipertemukan oleh keadaan. Entah ada rencana apa lagi yang Tuhan berikan padaku kali ini. Rasanya aku bahagia bisa melihat dia lagi, tapi sedih karena keadaan kami tidak lagi seperti dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
HorrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...