29. Tempat kerja baru

100 26 11
                                    

SEOUL, KOREA SELATAN

Tidak banyak impian yang ingin aku capai, tapi pergi ke tempat ini adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Seoul. Rasanya ini semua seperti mimpi. Aku sedang menginjakkan kaki di trotoar jalan, di mana pemandangan gedung pencakar langit menjadi salah satu icon yang kerap aku lihat di televisi. Untuk bahasa, aku sudah cukup mempelajari bahasa Korea sejak masih di Indonesia. Aku menyukai kebudayaan Korea, berikut tempat wisata dan makanan khasnya. Bahkan hal yang membuatku makin tertarik adalah industri perfilmannya. Sedikit demi sedikit aku mempelajari bahasa Korea, agar lebih mudah memahami saat menonton drama serialnya. Kini, aku berada di sini. KOREA SELATAN. Lebih tepatnya berada di Mapo-gu. Gu berarti distrik. Mapo-Gu berarti distrik Mapo. Ada sekitar 25 Gu di Seoul, dan aku berada di salah satunya.

Aku datang saat Maret, beruntungnya di Mapo sedang musim semi. Suhu saat musim semi berkisar 7-28 derajat celcius. Suhu yang cukup wajar bagiku, karena aku terbiasa berada di ruangan ber-AC. Tapi kali ini aku tidak akan memakai AC. Mungkin selimut tebal akan terus menemani hari-hariku nantinya. Bahkan saat musim panas pun, hanya memiliki suhu 25-38 derajat celcius. Tidak terlalu panas, bahkan aku masih bisa merasakan sejuk jika hanya berada di dalam ruangan, atau di bawah pohon taman.

Sebuah gedung pencakar langit menjadi tujuan ku setibanya di Seoul. Di sini adalah tempat di mana aku akan bekerja selama kontrak berlangsung. Sebagai penulis cerita yang mereka kontrak, aku juga bertanggung jawab mengurus skenario yang akan menjadi panutan film itu dibuat. Akan dibentuk tim yang bekerja sama denganku nantinya, mengurus jalan cerita dengan pas tiap adegan, bahkan sampai dialognya. Tim yang dibentuk ada lima orang. Empat dari kantor ini dan aku menjadi bagian dari mereka. Wong Sik, Ye Jun, Yeon Seok, dan Yuna. Yah, tiga pria lajang dan satu wanita muda yang seumuran denganku.

"Selamat datang," sapa Yuna dengan bahasa Korea, saat aku memasuki ruangan yang akan menjadi tempat kami bekerja sama selama satu tahun ini. Dari kontrak kerja yang aku tanda tangani sebelumnya, aku dipekerjakan selama satu tahun di sini, untuk mengurus cerita milikku.

"Hai semua, kenalkan ... saya Inestia Rossi Sagala, senang berjumpa ... dengan kalian," sapaku dengan kalimat terbata-bata. Aku masih belajar bahasa mereka, dan takut salah mengucapkan kata.

"Hai, Inestia," Pria yang aku ketahui bernama Yeon Seok segera memberikan jabat tangan dengan senyum ramah padaku. Satu persatu dari mereka mulai berkenalan denganku. Sejauh ini, mereka terlihat ramah dan baik. Bahkan tak segan mereka akan memperbaiki kalimat Korea-ku jika aku salah nantinya.

Inestia? Ines? Yah, di sini mereka memanggilku dengan nama itu. Sepertinya tidak masalah aku dipanggil dengan nama depan, karena panggilan Rosi selalu mengingatkan ku pada Indonesia. Di mana banyak kenangan yang ingin aku lupakan. Aku harus memulai hidup baru benar-benar dari awal. Semua akses dengan kehidupanku di Indonesia aku putus, kecuali dengan ketiga sahabatku saja. Aku pun melarang mereka memberitahukan keberadaanku dan nomor yang aku punya kepada orang lain. Aku juga melarang mereka memberitahukan tentang diriku pada Rangga. Semua hal yang membuatku pergi, Rangga tidak boleh tau.

Kami bekerja dalam satu ruangan dan dibagi lima bilik masing-masing. Tiap ruangan berbeda proyek yang dikerjakan. Beruntungnya aku memiliki tim yang solid dan baik. Di sini pun aku mendapat fasilitas tempat tinggal yang sangat layak. Semua dibayarkan oleh perusahaan sebagai salah satu bentuk keuntungan kerja sama dengan mereka. Padahal saat aku bertanya biaya sewa apartemen di sini, itu berkali-kali lipat dari sewa apartemen di Indonesia.

Sebagai hari pertama datang ke Seoul, aku dibebaskan pulang lebih awal untuk menikmati kedatangan perdanaku di Negeri ini. Sekaligus mengurus segala kebutuhanku selama tinggal di sini. Yuna membantuku berbelanja kebutuhanku. Bagaimana pun juga aku masih buta arah, dan takut tersesat. Walau sudah ada aplikasi GPS yang memungkin bisa membantu, tapi bagiku GPS juga bisa menyesatkan. Karena aku sering disesatkan olehnya.

Beberapa kantung belanjaan sudah berada di kedua tanganku, ternyata Yuna juga ikut berbelanja, dan kami terlihat semakin akrab karena kegiatan khas kaum wanita ini. Sampai di apartemen, ternyata ketiga pria yang kupikir masih berada di kantor justru sudah ada di sini.

"Hei, bagaimana kalian bisa masuk?" tanyaku heran.

"Oh, ayolah, Ines, kau belum membawa kunci rumahmu. Jadi kami bermaksud untuk mengantarnya sekaligus merayakan kedatanganmu di sini. Lihat, kami sudah bawa soju dan beberapa makanan yang pasti akan kamu suka," tunjuk Wong Sik ke meja di ruang tv.

"Eum ...," gumamku bingung harus bagaimana cara menolak Wong Sik untuk deretan makanan yang sepertinya tidak halal untukku.

"Hey! Kau ini lupa? Dia ini muslim, jadi tidak makan daging babi atau minum soju!" tukas Yuna, dia langsung merebahkan tubuh di atas kasur yang sudah ada Ye Jun, sedang bermain game di ponselnya. Belanjaannya di letakkan begitu saja di lantai. Sepertinya dia sangat lelah atas aksi belanja hari ini. Banyak tempat yang sedang menggelar diskon dan kami menyambanginya satu persatu.

"Eum, Ke mana Yeon Seok?" tanyaku sambil tengak- tengok.

"Oh, dia ada di kamar mandi. Sedang memeriksa saluran air. Kau jangan khawatir, kalau ada masalah tentang peralatan rumah tanggamu rusak, atau saluran airmu bocor, panggil saja Yeon Seok. Dia sangat pandai memperbaiki barang."

Kemudian orang yang sedang kami bicarakan pun muncul dengan peluh di dahinya. "Semua nya sudah diperbaiki, saluran airmu sudah lancar. Jadi kau tinggal memakainya saja." Dia keluar dari kamar mandi, lalu berjalan ke meja dan meraih sebuah soju yang sudah dibuka. "Apa kubilang, dia tidak akan makan makanan dan minuman ini, Dasar bodoh!" umpat Yeon Seok. Dia meneguk minuman itu dengan sangat menikmatinya.

Acara perayaan kedatanganku, berhasil kami rayakan dengan baik. Tempat ini memiliki balkon yang cukup luas, di mana kami dapat membuat acara makan-makan seperti ini lagi lain waktu. Mereka menyantap makanan yang dibawa tadi, sementara aku hanya menikmati semangkuk ramen instan yang sudah aku beli tadi, minuman yang aku pilih adalah soda yang mungkin rasanya hampir sama seperti soju yang mereka bawa.

Kami saling menceritakan kehidupan masing-masing. Mereka juga banyak memberikan informasi seputar pekerjaan, dan di mana aku bisa mendapatkan makanan halal, juga beberapa fasilitas yang bisa aku nikmati sebagai salah satu warga Korea sementara.

"Wow, Hei coba lihat pesan di ponsel kalian," pinta Ye Jun sambil memasukkan potongan isi perut babi yang baru saja ia bakar. Mereka semua segera membuka benda pipih masing-masing. Ekspresi mereka tidak dapat aku baca, karena aku tidak tau ada masalah apa yang terjadi.

"Ines, kau belum masuk ke dalam komunitas karyawan, ya?" tanya Yuna. Aku menggeleng pelan sambil mengelap bibir yang mungkin masih ada kuah ramen yang tertinggal di sana.

"Wah, ini aneh. Antonio meninggal?"

"Bunuh diri?"

"Benar, kah?"

"Sepertinya dia bukan tipe manusia yang akan mengakhiri hidupnya seperti itu!"

Siapa Antonio, dan bagaimana dia meninggal aku tidak tau. Aku hanya terus mencoba mengerti pembicaraan mereka dari sudut pandangku.

Tapi perlahan, bulu kudukku berdiri, aroma tidak sedap segera tercium ke pangkal hidungku. Aku segera tengak-tengok mencari sumber masalah yang sepertinya akan berpengaruh pada diriku ke depannya. Di sudut ruangan, tepatnya belakang pintu masuk, ada sebuah bayangan hitam sedang menatap kami. Menunduk dengan wajah pucat. Lehernya mengalir darah segar. Tetesan cairan merah itu terdengar sampai ke telingaku.

"Ines? Kamu baik-baik saja?" tanya Yuna. Aku masih menatap sudut itu, guna memastikan siapa sosok yang hadir sekarang.

"Eum, apakah Antonio itu pria keturunan Spanyol? Bukan orang Korea asli?" tanyaku.

"Iya, memangnya kenapa?"

"Matanya hijau?"

"Iya!"

"Memiliki freackles di wajahnya?"

"Ines, bagaimana kamu tau semua itu?" tanya Wong Sik.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang