45. I still love you

88 22 2
                                    

Jam sudah menunjukkan lewat pukul 3 malam. Kejadian siluman ular tadi, benar-benar menguras tenaga. Mereka semua sudah terlalu letih, hingga akhirnya memutuskan beristirahat di kamar masing-masing. Sudah 20 menit aku terus terjaga. Hening nya suasana malam justru membuat pikiranku melayang-layang.  Sejauh ini hanya ada angin yang berembus, menabrak dahan pohon yang terus terngiang di telinga. Aku terus berguling ke kanan dan ke kiri, berharap rasa kantuk datang, dan mengantarkan ku ke alam mimpi seperti yang lain. Bahkan suara dengkuran Iqbal terdengar sampai kamarku, saking sunyi nya rumah ini. Aku menyerah. Lalu beranjak dari pembaringan. Rasanya tenggorokanku kering. Seharusnya aku membawa minum sebelum masuk kamar tadi.

Pintu kubuka, tidak langsung keluar, namun mengamati kondisi ruangan di depan kamar ini. Gelap. Tidak ada siapa pun. Kata Bang Haikal, setelah lewat pukul 02. 00 keadaan akan aman. Mereka tidak akan mengganggu lagi pada jam ini, sampai pagi hari nanti. Setidaknya aku lega mendengarnya. Akhirnya aku memberanikan diri keluar kamar, berjalan dengan mengendap-endap, berharap tidak ada lagi gangguan hingga sampai dapur. Aku berhenti tepat di depan pintu kamar Rangga, menoleh ke kamar tersebut, sambil menarik nafas dalam. Sepertinya dia sudah tidur. Namun, lamunan ku buyar seketika, karena suara langkah seseorang sedang berlari mulai terdengar nyaring. Aku menoleh ke sekitar, tidak ada siapa pun. Sampai akhirnya tatapanku mulai fokus pada jendela di luar. Ada beberapa sosok yang aku lihat mondar mandiri di luar sana. Di lihat dari postur tubuhnya, sepertinya itu anak-anak. Aku diam, terus memperhatikan keluar. Sayangnya korden di jendela tidak ditutup, hal ini tentu akan memudahkan mereka yang berada di luar untuk melihat ke dalam, begitu juga sebaliknya. Kini sosok di luar mulai berjalan pelan. Sadar kalau aku berada di dalam dan sedang memperhatikan, mereka lantas mengintip di jendela. Mendekatkan wajah dan menempel di permukaan kaca tersebut. Otomatis aku mundur. Hingga tersudut di pintu kamar Rangga.

"Keberadaan penghuni sebelah, justru membuat sosok yang ingin mencelakaimu mundur. Karena mereka meyakini, kalau anak-anak itu akan mengganggu mu. Padahal mereka tidak pernah berniat seperti itu. Hanya saja, karena kamu bisa melihat mereka, kamu merasa terganggu."

Begitulah kata Bang Haikal. Jadi bukan salah mereka terlihat olehku, karena aku lah yang salah karena dapat melihat mereka. Kedua anak itu kini sedang menatapku dari balik kaca jendela. Mereka tersenyum, bahkan kini terkikik karena melihatku ketakutan mungkin. Aku tidak bisa bergerak, atau lebih tepatnya aku tidak tau harus berbuat apa di situasi ini.

Tiba-tiba tubuhku jatuh ke belakang. Pintu kamar ini terbuka dan orang di dalam lalu segera menangkap tubuhku. Aku menoleh, dan tentu dia Rangga.

"Kamu ngapain?" tanyanya bingung.

"I-itu." Aku menunjuk ke jendela, kedua anak itu masih ada di sana. Tapi sepertinya Rangga tidak melihat mereka.

"Ada apa di sana?"

"Anak-anak itu... Mereka di sana," gumamku pelan. Aku berusaha berdiri karena merasa tidak enak pada pria di belakangku ini.

"Mereka ganggu lagi?"

"Hm, enggak. Bukan salah mereka. Kan kata Bang Haikal ini justru salahku aja bisa lihat mereka, dan takut." Aku merasa frustrasi, hanya menundukkan kepala karena merasa sangat lelah dengan semua ini.

"Kenapa belum tidur?" tanya Rangga dan sepertinya dia sedang menatapku terus. Aku sengaja tidak ingin melihat dia, karena takut. Takut hatiku bergetar kembali. Atau takut, rasa ini membuat ku menjadi egois dan melupakan niatan awal ku meninggalkan dia dulu.

"Nggak bisa. Ya udah, maaf ganggu. Aku mau ambil minum dulu. Tapi ... Boleh minta tolong nggak?" Kali ini aku terpaksa menatapnya. Wajahnya masih sama, teduh dan membuatku gemetaran.

"Apa?"

"Tungguin di sini sampai aku balik lagi ke kamar. Aku takut."

"Oke."

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang