Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota.
"Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami.
"Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja."
"Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes.
"Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya, kan, Rangga?" tanya Papa menyindir.
"Iya, Om. Saya akan jaga Rosi selama Om pergi."
"Tuh, kan? Tenang aja. Mama udah negosiasi sama Mama Rangga. Jadi kalian bisa bersatu lagi sekarang." Papa tersenyum menatap kami berdua bergantian.
"Oh, jadi alasan kau pergi ke Korea karena menghindari dia, Nes?" tanya Lee ikut menanggapi.
"Bukan! Karena pekerjaan, Lee. Kenapa kalian semua berpikir seperti itu sih?"
"Yah, bisa jadi semacam aji mumpung. Tapi tenang saja, Rangga, selama di Korea, dia itu tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun. Bagaimana bisa dekat, mereka melihat Ines saja sudah bergidik ngeri. Kau tidak tau, betapa garangnya kekasihmu dulu? Teman-temanku saja tidak berani mendekatinya, padahal wajahnya cantik."
"Lee ...," panggilku agar dia berhenti membongkar masa lalu ku.
"Kenapa? Kurasa dia perlu tau, Nes. Betul kan, Om?" tanya Lee pada Papa. Papa hanya mengangguk dan tersenyum sambil menyelesaikan sarapannya.
"Tapi perlu diingat baik-baik. Ancaman saya kemarin bukan berlaku hanya untuk Woong saja. Kalian juga, terutama kamu, Rangga. Sedikit saja saya dengar dari Ines kamu bertingkah, maka kamu akan lenyap dari muka bumi tanpa ada orang yang tau," ancam Papa. Aku melihat Rangga menelan ludah dengan wajah sedikit pucat. Tapi setelah nya Papa justru tertawa puas. "Hahaha. Saya cuma bercanda."
Selesai sarapan kami lantas menuju bandara untuk kembali ke Ibukota. Rasanya banyak kenangan di Jogja kemarin. Tapi satu hal yang membuat ku terus melebarkan senyum. Mengetahui kalau hubunganku dengan Rangga kembali, membuatku merasa lega. Tidak perlu lagi ada drama menghindarinya, atau mencari perhatiannya. Kini kami sama-sama memberikan perhatian dan bunga cinta kami terus berkembang dari waktu ke waktu.
Setelah acara di Jogja kemarin, Om Fendi memberikan kami cuti selama tiga hari. Terhitung hari ini. Rangga menjemput ku sore hari ke rumah, dan mengajakku ke suatu tempat.
Sebuah apartemen di tengah kota membuatku bertanya-tanya. Kenapa dia mengajakku ke sini.
"Ini apartemen siapa?" tanyaku begitu dia mengajakku masuk ke salah satu bangunan di gedung itu.
"Punyaku dong. Aku udah pindah dari rumah ke sini. Kamu tau sendiri rumahku jauh dari kantor. Capek kalau harus bolak balik. Jadi aku putuskan sewa apartemen di sini."
Sederhana, tapi aku suka. Sama seperti apartemen sebelumnya yang pernah ku tinggali. Apartemen milik Rangga hanya memiliki satu ruangan besar yang tidak disekat. Dapur dan kamar, di tambah kamar mandi tentunya. Juga sedikit ruang tengah dengan tv layar datar yang letaknya dekat dengan balkon. "Kamu boleh kok, tidur di sini. Apalagi di rumah kan sendirian? Jujur aku kepikiran kalau tau kamu sendirian di rumah gitu. Gimana? Kamu mau tinggal di sini sama aku?" tanyanya lagi. Sebuah ajakan yang sangat menggoda iman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
Kinh dịInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...