18. Cerita Koh Rudi

91 26 9
                                    

21.00

Aku duduk di dekat jendela, ditemani secangkir kopi dan laptop yang masih menyala tanpa mengetik satu huruf sekalipun. Berbagai ide sudah ada di kepala, tapi aku masih bingung dari mana harus memulainya. Sebagai penulis, setiap hal aneh yang aku temui akan selalu menjadi inspirasi dalam tulisanku. Tentu dengan aku kembangkan sesuai imajinasi, tanpa mengesampingkan fakta yang terjadi. Beberapa karya yang aku tulis, pasti bersumber dari sesuatu yang nyata. Entah aku alami sendiri, atau pengalaman orang lain. Sebisa mungkin aku harus bisa membuat tulisanku terasa hidup, sehingga para pembaca pun akan larut di dalam kisahku.

Langit terlihat cerah malam ini, namun bukan berarti tidak gelap. Hanya saja awan mendung tidak ada di sana, hanya menampilkan jutaan bintang. Tawa dan jeritan Satria terdengar sampai kamarku. Aku melirik ke jendela dan melihat beberapa anak kecil berlarian di sana. Tentu ada Satria, tanpa Aidil tentunya. Aidil sepertinya sudah tidak ada di sini lagi. Aku bahkan teringat perkataan Koh Rudi tadi.

❌❌❌
"Gue sudah tinggal di sini sejak kecil. Jadi tau, setiap kisah dari rumah per-rumah. Bangunan itu berdiri sejak hampir 50 tahun lalu. Sebelumnya dibangun hotel melati, tapi cukup ramai. Sampai akhirnya bangkrut karena krisis ekonomi. Akhirnya dibeli orang, dan dibuatlah Klinik. Itu pun nggak bertahan lama. Klinik itu bangkrut juga. Sampai akhirnya dibiarkan kosong selama beberapa tahun. Nah, Seno itu pembeli terakhir. Sampai sekarang."

"Oh jadi ceritanya gitu, Koh."

"Iya. Tapi gue nggak tau kalau elu dengarnya berbeda dari cerita gue. Karena ada banyak versi, biasanya. Tapi kalau versi gue ya seperti itu. Awalnya gue senang karena akhirnya tempat itu kembali terisi. Elu tau sendiri kalau bangunan lama kosong, pasti akan banyak hal negatif nanti."

"Jadi Pak Seno beli bangunan itu langsung dibuat apartemen, Koh?"

"Iya. Langsung. Tempat itu diperbaiki dan akhirnya banyak orang yang menyewa. Tapi setahun setelah apartemen itu berdiri, kita, warga sekitar, justru merasakan banyak hal ganjil."

"Hal ganjil?"

"Pertama. Ada orang yang tinggal di ujung sana, bilang, katanya sering dengar anak kecil lari-lari. Padahal anak Seno itu cuma satu."

"Sebentar. Anak Pak Seno cuma satu? Bukannya anaknya cuma Satria? Apa itu kakaknya Satria?"

"Gue nggak tau. Yang jelas nama anak itu Satria."

"Hah? Tapi, kan, saat itu sudah lama, kan, Koh? Masa Satria nggak besar-besar?"

"Ya Iya. Awal mereka datang, anak itu sudah ada, dan sekarang sudah hampir 20 tahun. Beberapa tahun setelah mereka menetap di sana, beberapa penghuni meninggal. Ada saja penyebabnya. Sampai akhirnya Satria itu juga meninggal."

Aku masih terus menyimak cerita Koh Rudi dengan rasa penasaran yang menggebu.

"Setahun setelah anaknya meninggal. Istri Seno hamil lagi. Lahir anak laki-laki, dan dikasih nama yang sama seperti anak sebelumnya. Satria. Tapi ... anehnya, setelah anak itu besar, seperti sekarang, wajahnya tetap sama seperti anak sebelumnya yang sudah meninggal."

"...."

"Kejadian seperti ini terus terjadi. Kayaknya hampir 4 kali."

"Terus Koh Rudi tau dari mana tentang sosok jubah hitam?"

"Gue lihat sendiri. Hampir setiap tahun, dia selalu muncul, dan terus ada di lingkungan apartemen itu. Beberapa kali gue lihat dia ada di jendela penghuni apartemen. Seperti sedang mengintai, tapi besoknya orang yang dia intai pasti meninggal. Kami, warga sekitar sudah biasa dengan fenomena ini. Bahkan beberapa mengutuk tempat itu. Lebih baik jangan berurusan sama orang-orang di sana. Itu lebih aman."

"Kenapa warga nggak protes atau demo barangkali? Jelas-jelas ada hal aneh, kan?"

"Sudah. Kami datangi Seno dan meminta penjelasan tentang kematian para penghuni apartemen selama ini. Tapi hal seperti ini tentu nggak ada bukti yang bisa membuat Seno mengakui kalau misal dia melakukan ritual hitam atau apa pun itu. Dia pintar membuat statment dan kami juga nggak bisa apa-apa. Tapi setelah kejadian itu, satu persatu dari orang yang mendatangi rumah Seno pasti celaka, bahkan ada yang sampai meninggal. Setelah kejadian itu, kami sudah nggak mau lagi mencampuri urusan dia lagi."

.

.

.

Ketukan pintu membuatku kembali pada kehidupan nyata. Aku segera berlari kecil menuju pintu. "Sebentar!" Namun saat pintu dibuka, aku tidak melihat seorang pun di sana. Aku bahkan sampai keluar dan tengak-tengok kanan kiri. Perasaanku mulai tidak enak. Akhirnya aku kembali masuk dan menutup pintu rapat-rapat sekaligus menguncinya. Aku mundur selangkah, tetap dengan tubuh menghadap pintu. Kembali. Ketukan itu kembali terdengar. Aku lantas melotot dan membeku di tempatku. Berusaha menahan nafas atau gerakan apa pun yang membuat seseorang di luar sana mengetahui keberadaanku.

"Ros! Rosi!" Tapi saat suara di luar terdengar familiar, aku segera mendekat.Mengintip dari viewer door, ternyata dia benar manusia. Aku segera membuka pintu cepat. Dia tersenyum, tapi aku hanya diam, menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Heh! Kenapa sih lu?" tanya Rangga heran.

"Elu beneran Rangga?"

"Ya iyalah. Lu pikir gue Afgan? Mirip sih emang, cuma bedanya suara dia bagus, suara gue fals!" Rangga segera masuk dan menutup pintu, padahal aku belum menyuruhnya masuk.

"Indi mana?" tanyaku.

"Nggak bisa ke sini, makanya gue yang ke sini." Rangga segera duduk di kasur, dan langsung merebahkan diri di sana. "Elu masih tulis? Buruan kelarin. Gue mau nonton Youtube."

"Ke sini nggak bawa apa-apa gitu?"

"Bawa apa? Eh, harusnya elu yang sediain gue makanan. Kan gue tamu," timpalnya.

"Emangnya belum makan?"

"Udah sih. Elu bagaimana? Udah makan?" tanyanya yang awalnya terus menatap layar ponselnya, kini beralih menatapku.

Aku mendekat dan tiduran di sampingnya. "Sudah. Bikin ramen tadi."

"Ih, kok kayak anak kos. Makan mie terus. Usus lu keriting nanti!" Rangga segera duduk menatapku intens. "Coba lihat leher lu," katanya kembali menaikkan daguku. "Ish, seram sekali, Sis. Diem dulu." Rangga lantas mengambil sesuatu dari kantung jaketnya. Salep tersebut ia oleskan langsung pada leherku. Aku meringis menahan pedih namun sesekali melirik Rangga yang berada di atasku.

"Rangga?"

"Apa?"

"Nginap, kan?"

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Gue tidur di mana? Kalau di kasur, gue mau, kalau di lantai gue nggak mau."

Aku lantas menatapnya sinis. Rangga balik menatapku, lalu beberapa detik kemudian tertawa terbahak-bahak. "Serius amat! Bercanda kali. Iya gue nginap. Tadi si Indi sudah wanti-wanti gue, buat nemenin elu. Dan nggak boleh apa-apain elu. Puas?"

"Emangnya elu mau ngapain gue?"

"Oh mau coba?" tantangnya. Aku melempar Rangga dengan bantal, tepat di wajahnya.

.

.

.

22.30

Tulisanku akhirnya selesai. Perut baru merasakan lapar lagi. Ternyata mie tidak mampu menggantikan posisi nasi untuk para cacing di dalam sini. Rangga sedang menonton talk show salah satu stasiun tv swasta. Beberapa kali dia tertawa tanpa mempedulikan sekitar.

"Rangga, mau makan lagi nggak?"

"Mau dong. Ada makanan apa?" tanyanya sambil menoleh.

"Nasi goreng deh. Ingin makan nasi."

"Oke. Gue bantuin, yuk," katanya dan sontak membuatku melongo.

" Ada angin apa lu baik ke gue?"

"Topan! Mana nih bahannya?" tanya Rangga sambil membuka kulkas. Ia lantas mengambil beberapa bahan yang memang baru aku beli tadi. Telur, tomat, sosis, nugget, ia bawa keluar. Ternyata Rangga tidak main-main membantuku, walau kami tetap terlibat perdebatan saat memasak.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang