23. Memulai hidup Baru

112 27 13
                                    

Tempo hari aku bertemu Pram, kami akhirnya bertukar kabar dan berbincang sambil menikmati secangkir kopi. Setelah keluar dari apartemen Pak Seno, aku memutuskan tinggal di rumah Indi untuk sementara waktu. Terkadang aku juga pindah ke rumah Nita, bahkan Mey juga, sampai aku menemukan tempat tinggal baru.

Pram memberitahukan, kalau sekarang dia sudah pindah ke sebuah apartemen yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada teror hantu atau pembunuh berantai seperti sebelumnya. Bahkan dia menawarkan aku untuk menyewa salah satu tempat di sana. Aku pun mengiyakan dan akan melihat tempat itu, sebelum memutuskan menyewa atau tidak. Yah, aku harus lebih selektif lagi dalam memilih tempat tinggal. Aku tidak mau lagi kejadian kemarin terulang, atau kejadian yang lebih mengerikan lagi nantinya.

Rangga menyanggupi akan mengantarku ke tempat itu sepulang kerja. Aku yang seharian berada di cafe, guna menyelesaikan tulisanku, lantas segera bergegas keluar, karena pemuda itu sudah datang.

"Yakin, nggak mau makan dulu atau ngopi dulu?" tanyaku yang melihatnya masih duduk di atas kuda besinya.

"Enggak. nanti aja. Aku belum lapar, makan di rumah aja deh," ujarnya.

Kami lantas bergerak ke alamat yang diberikan Pram. Tidak menunggu waktu lama, dan drama mencari alamat yang rumit, kami berhasil sampai di tempat itu dengan selamat. Dari luar, gedung ini hampir sama seperti gedung-gedung apartemen lainnya. Harga sewanya tentu lebih mahal dari apartemen Pak Seno kemarin. Aku pikir itu tak jadi soal, asalkan tidak ada masalah lagi ke depannya. Uang bisa dicari, tapi kenyamanan akan sulit didapat.

Beberapa kamar memang disewakan, hampir sebagian sudah penuh. Aku memilih sebuah ruangan yang tidak perlu ada drama naik lift atau tangga. Yah, lantai satu. Saat masuk ke dalam ruangan itu pun, aku tidak merasakan hal aneh. Semacam bulu kuduk berdiri, atau hawa ruangan yang berubah secara tiba-tiba, bahkan bayangan yang mungkin bersembunyi di sudut ruangan. Semua tampak normal dan baik-baik saja. Akhirnya aku memutuskan tinggal di sini, dan memilih kamar ini. Setelah membayar uang sewa untuk bulan ini, Rangga mengajakku pulang ke rumahnya. Karena dia sudah lapar katanya, tapi menolak makan di luar.

Ini kali ketiga aku datang ke rumahnya. Semua tampak sama. Tidak banyak berubah. Hanya saja keluarganya sedang berduka, karena kakek Rangga meninggal dunia kemarin. Beberapa kursi plastik berwarna hijau masih ada di sudut rumah, hanya saja sudah dirapikan dan siap untuk dibawa ke balai pertemuan. Lingkungan rumah Rangga memang memiliki keakraban kuat antar tetangga. Semua fasilitas tenda serta kursi di dapat dari tempat itu. Katanya itu adalah hasil iuran warga saat Papanya menjabat sebagai ketua RT.

Rangga mengucapkan salam begitu kakinya melangkah masuk ke dalam. Terdengar suara orang yang mengobrol di ruang tamu, dan saat aku masuk, ternyata ada tamu di dalam, sedang mengobrol dengan Mamanya.

"Eh, masuk, Mba Rosi," sapa Mama Rangga ramah. Aku sedikit sungkan karena berada di situasi yang sepertinya tidak seharusnya ada aku di dalamnya. Aku segera meraih tangan wanita itu dan mencium punggung tangannya.

"Saya ikut berduka cita, Bu. Semoga amal ibadah kakek diterima, diampuni dosa-dosanya. Memangnya jam berapa meninggal?" tanyaku basa basi, karena aku sudah mendengar cerita lengkap dari Rangga. Sementara pemuda itu langsung masuk ke dalam untuk mandi.

"Malam. Yah, namanya sudah ajalnya, ya, Mba. Kakek sudah tenang di sana, nggak sakit lagi," jelas Mama Rangga terlihat tegar. Memang Kakeknya sudah menderita sakit sejak lama, berbagai keluhan selalu Rangga ceritakan tentang kakeknya itu. Dan terakhir kali yang aku dengar, Kakeknya terkena stroke.

"Iya, betul, Bu. Nin bagaimana?"

"Pas tau meninggal ya sedih, nangis, tapi sebentar saja. Terus pikunnya kambuh, ya udah lupa sekarang." Ibu menceritakan dengan tenang dan tanpa beban. Mengurus orang yang sudah lanjut usia memang membutuhkan kesabaran ekstra. Ibu Rangga adalah menantu di keluarga ini, tapi dengan ikhlas selalu merawat kedua mertuanya. Bahkan tak jarang, jika kakek mengompol atau buang air besar sembarangan, Ibu yang membersihkan semua itu, tanpa merasa terbebani.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang