Pintu lift terbuka. Dengan kaki sedikit pincang, aku mulai memasuki ruangan besar itu. Seketika Rahma memanggilku dan membuat beberapa orang langsung menatapku dengan ekspresi terkejut.
"Loh, kok lo masuk? Bukannya masih harus istirahat di rumah? " tanya Indi segera mendekat dan membantuku berjalan.
"Nggak apa-apa kok. Cuma lecet-lecet doang. Sebentar juga sembuh, " Sahutku berusaha membuat mereka semua tidak cemas.
"Gimana ceritanya sih, Ros! Kok bisa elo diserang gitu sama orang? Astaga bahaya banget sih! " Kata Mey agak panik.
Alhasil aku pun dikerubungi oleh mereka dengan beribu pertanyaan yang intinya mencemaskan ku. Aku berusaha menanggapi mereka seperlunya, karena tidak ada informasi apa pun yang ku punya terkait insiden semalam. Iqbal sudah melaporkannya ke pihak berwajib, semua sedang diusut. Begitulah pesan yang dia kirim tadi, saat aku dalam perjalanan ke kantor.
"Iya, untung Raja datang tepat waktu, coba kalau nggak, bisa-bisa aku nggak selamat. " Saat aku mengatakan itu, ternyata Rangga baru saja keluar dari lift dan mendekat ke meja Rahma. Dia melirik ke arahku sekilas.
"Heh! Ini pada ngapain? Malah nggosip! " Cetus Om Fendi saat keluar dari ruangannya. "Ros, kalau masih lemes, pulang aja, ya. Jangan dipaksain. "
"Iya, bos. Siap. Aku nggak apa-apa kok. Oh iya, tim yang buat survey lapangan besok, udah dibentuk? Acara nya sebentar lagi, kan? "
"Oh iya, udah. Itu yang pergi kalian bertiga, Kamu, Rahma, sama Rangga. Proposal udah ditangan Rahma, tinggal kalian pergi ke sana. Kalau kondisi kamu udah membaik, sebaiknya besok udah ke sana sih, Ros. "
"Oh gitu. Oke, siap, " Sahutnya lalu melirik ke Rangga dan Rahma.
"Kalau gitu aku beli tiket kereta sekarang, jadi besok kita tinggal pergi aja, " Cetus Rahma padaku dan Rangga.
"Oke, Ma."
Semua kembali pada pekerjaan masing-masing. Aku pun mulai sibuk memeriksa naskah yang sudah datang ke mejaku. Bekal sarapan dari Bu Siti pun sudah habis ku santap. Jam makan siang sebentar lagi. Rasanya perutku sudah mulai keroncongan.
"Ros, mau nitip makan nggak? Jangan banyak gerak dulu deh lo, " Kata Indi. Aku pun menatap jam di pergelangan tangan. Rupanya ini sudah jam makan siang. Beberapa teman di ruangan ini juga mulai beranjak satu persatu dari meja mereka untuk mengisi perut dengan asupan bergizi tentunya. Walau ini bukan pekerjaan berat, tapi aku akui, sangat menyita pikiran dan membuat perut mudah lapar.
"Eum, nggak usah. Nanti gue pesan gofood aja. Kalian makan dulu sana. "
"Serius? Nggak mau nitip apa gitu? "
"Enggak."
"Ya udah, gue usahain cepat balik kantor, ya. Lo hati-hati, kalau ada apa-apa, kabarin kita, atau telepon bagian keamanan. Ada kan, nomornya di situ? " Tunjuk Indi ke deretan nomor telepon yang ditempel di depan monitor.
"Ada. Udah sana, nanti Raja nungguin lo, " Tukasku sedikit mengusirnya.
"Iya, Iya. "
Ruangan perlahan mulai sepi, untungnya tidak semua orang pergi untuk makan siang ke kantin. Karena ada beberapa orang yang membawa bekal makan dan memutuskan makan di ruangan ini saja. Setidaknya aku tidak sendirian. Sehingga gangguan tak terlihat akan lebih sedikit jika ada orang lain di sini. Aku sedang tidak ingin diganggu atau apapun bentuknya oleh mereka. Tubuhku yang masih nyeri akan menyulitkan bergerak.
Aku sudah memesan makan pada aplikasi daring. Nasi padang dengan es boba rasa coklat menjadi pilihan menu makan siang ku. Hanya tinggal menunggu driver itu datang, jadi aku lanjut menyelesaikan pekerjaan yang masih menumpuk. Ketidakhadiran Danielo, membuat pekerjaanku semakin banyak. Bahkan aku jarang ikut mengobrol dengan yang lain saat jam kerja tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
TerrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...