24. Teman Lama

102 23 8
                                    

"Elu udah denger kabar Ramon, Ros?" tanya Nita. Kami berempat sedang menikmati martabak manis yang dibeli mereka sebelum datang ke sini, ditemani secangkir teh hijau yang baru kubeli tadi.

"Ramon? Kenapa?" tanyaku tidak bersemangat. Sejak tadi aku hanya memungut cacahan kacang tanah yang menjadi toping makanan di depan kami.

"Dia gila! Masuk RSJ. Nah, anehnya, kata orang-orang dia selalu histeris gitu sambil manggil nama Lili terus. Seolah-olah Lili itu selalu ada di dekat dia!" jelas Indi dengan antusias.

"Ya iyalah. Kan emang Lili nempel mulu ke dia. Rasain!" ungkapku kesal.

"Kok bisa gitu, Ros?" tanya Nita mencomot martabak keenam kalinya.

"Mana gue tau."

"Mungkin karena masih dendam gitu kali, ya? Kan elu cerita gimana kematian Lili waktu itu!" Mey menanggapi.

Diskusi tentang Ramon dan Lili kembali memanas. Ternyata kondisi Ramon memburuk. Dia bahkan sering menyakiti dirinya sendiri, atau terus menjerit-jerit, sehingga harus dipindahkan ke ruangan khusus, di mana tidak banyak pasien lain di sekitarnya. Mereka masih membahas kematian Lili, yang sebenarnya sudah malas kuungkit lagi. Karena biasanya dia akan muncul jika terus disebut seperti sekarang. Aku sedang tidak ingin menjadi juru bicara para ruh.

"Eh, bau apa nih?" tanya Mey sambil mendengus, hidungnya bergerak sambil tengak-tengok.

"Eh, iya! Bau bunga nih! Jangan-jangan ...," gumam Nita sambil melirik sekitar dengan was-was.

"Wah, nggak beres nih!" Indi berucap lalu mengecup jari telunjuk dan ibu jari karena terkena saus cokelat.

Aku tidak menanggapi hal ini, masih melakukan gerakan sama seperti tadi, ditambah menompang dagu sebagai bentuk rasa lelah atas semua yang terjadi. Lebih tepatnya, kejadian di rumah Rangga. Aku selalu lemah dengan masalah ini. Mengapa ibu mertuaku, ah tidak, mantan ibu mertuaku bisa mengenal Mama Rangga? Aku yakin, Mama Rangga sekarang tidak menyukaiku. Apalagi tatapan matanya tadi, terlihat jijik saat melihatku.

Aku menjerit sambil mengacak-acak rambutku sendiri. Kepala kusandarkan di meja, kedua tanganku mengepal, menahan rasa marah dan sedih, serta takut yang bersamaan.

"Elu kenapa, Ros?" tanya Mey bingung.

"Ada setan, ya?" Nita bertanya dengan serius.

"Siapa, Ros? Siapa yang datang? Di mana?" Mey tengak tengok ke seluruh sudut ruangan ini.

Aku lantas meraung, tidak tahan lagi. Tetap berada di atas meja, seperti biasanya, jika aku menangis selama ini.

"Hey, lu kenapa sih? Rosi!" Indi menarik tubuhku dan kini berhadapan dengannya. Dahinya berkerut, kedua bola matanya liar menatap wajahku, dan menelusuri kedua bola mataku. Seolah-olah dia dapat menemukan letak masalah di sana.

"Gue ... Gue salah apa sih, Ndi?" tanyaku sambil memukul dadaku pelan. Tangisan ku makin kencang dan membuat mereka bertiga saling berpandangan.

"Salah apa? Memangnya ada masalah apa sih? Cerita ... Cerita," suruh Indi mulai melunak dengan wajah yang sudah tidak serius seperti tadi.

Aku menceritakan semua kejadian itu dari awal, dan semua perkataan mantan Ibu mertuaku tadi.

"Astaga!"

"Gila tu mak lampir, masih aja mulutnya jahat!"

"Mungkin yang dia bilang bener, ya? Gue emang ...," kataku tidak melanjutkan kalimat lebih panjang lagi.

"Hey! Ngomong apa lu?! Jangan mikir macem-macem, ya! Siapa berani ngomong gitu? Ibu-ibu jahat itu? Ibu yang membela anaknya yang jelas-jelas selingkuh-in elu berkali-kali?! Iya?! Itu namanya Ibu nggak waras!" kata Indi mulai menaikkan nada bicaranya.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang