16. Teror yang dialami Oma

85 26 12
                                    

Pagi di apartemen, sudah ramai dengan banyaknya orang yang datang melihat jenazah Desi. Beberapa polisi datang juga mobil ambulance. Kamar Desi diberi garis batas, dan kami dilarang masuk ke dalam sana. Sekalipun kematian gadis itu langsung dia ngga bunuh diri, tapi polisi masih menyisir TKP dan bertanya pada seluruh penghuni apartemen.

Aku duduk di kursi taman, dekat pohon besar satu-satunya di lingkungan apartemen kami. Satria mendekat, dengan action figure Thor yang terus ia genggam. Sepertinya aku baru melihat benda itu.

"Baru, ya?" tanyaku menunjuk mainan milik Satria. Dia menoleh lalu mengangguk diiringi senyum lebar di wajahnya.

"Siapa yang beli, Satria?"

"Papah. Bagus, kan, Kak? Nih ada palunya juga," tunjuk Satria pada benda kecil di tangan Thor tersebut.

"Wah, keren." Aku lantas mengelus pucuk kepala anak tersebut. Sekilas aku mengingat anak-anakku. Jika mereka masih hidup, anak bungsuku pasti sudah seusia Satria.

Satria masih memainkan benda tersebut. Mengerang-gerak kan tangan, mengangkat tinggi-tinggi, seolah sedang bertarung dengan seseorang dalam imajinasinya.

"Satria ..."

"Iya, Kak?"

"Eum, Aidil ke mana? Kok nggak kelihatan?" tanyaku sambil tengak-tengok. Biasanya sosok Aidil akan terus berada di dekat anak ini. Mereka bermain bersama setiap hari. Bahkan sejak Aidil muncul, Satria sudah tidak lagi bermain dengan sosok lain yang dulu sering kulihat.

"Aidil sudah pergi, Kak."

"Pergi? Ke mana?"

"Di bawa Om jubah hitam."

Aku menelan ludah, berpikir dengan sangat keras saat sosok itu disebut Satria. Jadi Satria juga bisa melihatnya. Ah, wajar saja. Dia, kan, juga bisa melihat sosok-sosok tidak terlihat sepertiku.

"Satria sering lihat Om jubah hitam, ya?"

"Eum ... Enggak juga. Om jubah hitam itu jarang muncul, Kak."

"Jarang muncul? Satria tau nggak, kalau om itu munculnya kapan?"

"Kalau ada orang yang meninggal, atau habis meninggal. Biasanya Om itu yang bawa," jelasnya lalu tiba-tiba menutup mulut dan berlari.

"Satria! Satria!" jeritku memanggilnya. Tapi anak itu justru pergi pulang ke rumahnya. Pak Seno yang melihat anaknya berlari masuk, lantas menatapku. Tidak ada ekspresi yang ia tunjukkan. Namun tatapannya justru membuatku takut.

Beberapa penghuni apartemen sudah ditanyai oleh polisi. Jenazah Desi sudah dibawa oleh ambulance dan setelah itu akan dikirim ke kampung halaman nya.

Suasana di tempat ini ramai. Bahkan warga sekitar juga berbondong-bondong datang. Kematian Desi membuat gempar warga sekitar. Apalagi dengan gosip beredar dia bunuh diri. Semua orang memiliki spekulasi masing-masing akan alasan di balik kematian gadis muda itu. Aku hanya duduk saja di kursi ini, mengamati setiap orang yang masih lalu lalang di hadapanku. Sembari memperhatikan wajah para penghuni apartemen. Namun sosok berjubah hitam yang beberapa hari ini aku lihat, justru tidak muncul.

"Nggak masuk?" tanya Raja yang tiba-tiba duduk di samping ku. Dia lantas menyodorkan sebotol minuman berkarbonasi warna merah padaku.

"Enggak. Lagi pengen di luar, makasih," sahutku lalu membuka botol minuman itu hingga berbunyi "ceesss."

"Gimana? Ada niatan buat pindah lagi dari sini?" tanyanya dan membuatku segera tergelak. Aku menyapu air yang sedikit muncrat di samping bibir dengan punggung tangan.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang