Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar.
"Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."
Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi Rangga, memang sejak pagi aku belum mandi karena cuaca masih dingin. Juga karena aku merasa kurang enak badan. Tapi saat tiba di sini, aku ingin menghindari Nida, tapi tidak mungkin juga aku pergi seperti kemarin. Seharusnya dia yang pergi dari sini, bukan aku.
Selesai mandi, aku memakai pakaian dalam saja yang memang ada di lemari kamar mandi, lalu membalut tubuhku dengan piyama mandi.
Nida masih ada di sini. Teh sudah tersaji di meja makan, dan coffe latte dan kopi hitam ada di nakas. Pasti itu milikku dan Rangga. Dia menarik salah satu kursi makan, dan duduk di dekat meja makan ranjang. "Udah? Tumben kamu belum mandi ke sini?" tanyanya sambil melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. "Aku bikinin latte. Udah makan belum?"
"Siang belum dong, sayang. Tadi udah sarapan kok. Nanti aja, makan bareng kamu," kataku lalu duduk di pangkuannya.
Rangga menelan ludah, sementara Nida langsung menatap ke arah lain. Aku yang duduk menghadap Nida lantas meraih latte yang masih hangat. Tangan Rangga otomatis melingkar di pinggangku. "Kamu udah mandi belum?" tanyaku menoleh sedikit, sambil menyeruput latte buatannya.
"Belum. Hehe."
"Eh, Nid? Gimana Rizal? Udah sehat, kan?" tanyaku basa basi. Aku tidak habis pikir, kenapa dia malah ke sini, bukannya kemarin terlihat sekali kalau dia sangat cemas pada Rizal. Seharusnya kan, dia kini ada di rumah Rizal. Karena ini baru dua hari sejak kejadian itu.
"Mendingan kok, Ros, cuma masih lemes aja badannya. Kebetulan orang tuanya lagi di rumahnya, jadi aku balik," jelasnya.
Terus? Lo datengin cowok orang? Gitu? Cih, dasar gatel!
"Oh syukur deh kalau gitu. Semoga cepat sembuh, ya. Terus ... Kamu ke sini ngapain?"
Rangga berdeham, Nida lantas melirik ke Rangga, seolah bingung ditanya begitu.
"Maaf ya, Ros, kalau kamu nggak suka. Aku cuma butuh temen curhat aja, tentang kondisi Rizal. Kasihan dia, semalam masih suka ngigau, bikin aku bingung dan sedih. Udah kebiasaan soalnya, dulu aku sering curhat ke Rangga, pas kamu lagi di Korea. Jadi aku ke sini," jelasnya.
"Oh gitu. Kalau butuh temen curhat, kamu bisa kok ke rumahku. Lagian kalian kan, udah lama putus, jangan sampai jadi fitnah, atau bikin aku sama Rangga ribut lagi."
"Eum, iya, Ros. Maaf ya. Aku janji nggak akan ke sini lagi kok. Kalau gitu aku balik dulu, ya. Thanks ya, Ngga." Nida berkemas, bahkan teh miliknya belum sempat dicicipi. Aku beranjak, meletakkan cangkir kopi ku, lalu mengantarnya keluar.
"Hati-hati pulang nya. Langsung pulang apa ke rumah Rizal? Titip salam, kalau kamu ke rumah dia. Mungkin besok temen-temen kantor nengok." Aku membuka pintu, terus memegang gagang nya, sambil melihat Nida memakai sepatu hak tinggi merah tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
HorrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...