"Yuk, pulang. Nggak dijemput, kan?" tanya Rangga setelah dia selesai siaran.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun aku baru keluar dari ruang siaran karena menemani Rangga sejak tadi."Eum, aku belum kasih kabar Iqbal, dia juga belum telpon aku sih," sahutku sambil memeriksa gawai di tangan.
"Ya udah, balik sama aku saja. Sebentar aku ambil jaket. Eh, naik motor nggak apa-apa, kan?" tanyanya.
"Ya nggak apa-apa sih. Memangnya aku harus naik mobil terus. Gitu?"
"Oke. Ya kali aja, sekarang level kamu udah naik. Alergi naik motor."
"Dih, apaan sih! Rese!"
"Ye ngambek. Manyun. Jelek banget."
"Buruan ah, Rangga!"
"Iya, oneng!" katanya memanggil ku dengan panggilan seperti dulu. Hal ini tentu membuatku kembali merasakan bagaimana hubungan kami dulu. Bagai Dejavu yang ingin aku terus ulangi dan ulangi.
Aku menunggu di sebuah kursi yang memang dipakai untuk ruang tunggu, dan tak lama kemudian Rangga keluar sambil buru-buru memakai jaketnya. Jaket itu, adalah hadiah terakhir yang pernah aku berikan untuk dia sebelum hubungan kami berakhir begitu saja. Ini kali pertama aku melihatnya memakai jaket itu. Karena hanya sekali setelah aku memberikan kado itu, dan kami pun berpisah. Dia menyukainya, entah benar-benar menyukainya atau hanya untuk menyenangkan hatiku saja. Katanya dulu, "Bagus dong. Kamu kamu yang pilih, pasti bagus."
Dia memang pintar menyenangkan hati orang dan menghargai orang lain. Walau terkadang kalimat yang dia lontarkan terkesan menyebalkan.
"Yuk, turun," ajak Rangga berjalan lebih dulu ke lift. Ada salah satu teman kerjanya yang juga sepertinya akan turun ke lantai bawah, jadi kami tidak berdua saja selama di dalam lift. Rasanya ini melegakan, karena aku masih kurang nyaman jika hanya berdua saja dengannya. Aku grogi dan bingung harus berbuat apa. Padahal diam saja pun termasuk tindakan paling tepat.
"Balik lo?" tanya pria muda yang sedang membawa tumpukan map di tangan.
"Iyalah. Emangnya elu, kerja mulu. Hati-hati ... jangan terlalu malam di sini," bisik Rangga yang masih dapat kudengar.
"Jangan begitu, Ngga. Sudah malam gini, jangan mulai lo ya! Besok-besok giliran elu yang dikasih lihat!"
Rangga hanya tertawa, lalu pintu lift dibuka. Kami segera keluar bersamaan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya ada gangguan tak terlihat di gedung ini yang pernah dialami teman Rangga. Hanya saja sejauh ini aku belum melihat penampakan yang berarti.
Sampai di lobi, rupanya teman-teman juga akan pulang. Mereka masih berkumpul di depan entah sedang berdiskusi apa.
"Nah, ini dia orangnya. Kirain udah balik lo, Ros?" tanya Indi. Mereka semua menatapku dan membuatku risih.
"Belum, kenapa?"
"Ayok. Ikut. Kita makan-makan. Babeh yang traktir!" kata Mey menambahkan.
"Eum, bagaimana, ya ...."
"Nggak boleh nolak! Rangga juga ikut kok. Iya, kan?"
Rangga mengangguk sambil menatap layar ponselnya, sesekali memperhatikan sekitar. Sepertinya ada yang sedang ia cari.
"Nahkan! Ya sudah, ayo semua ke cafe biasanya. Elu sama Rangga, kan? Rangga! Heh! Jagain teman gue! Awas kalau kenapa-kenapa!" hardik Indi.
"Bawel!"
"Ya sudah kita duluan, Ros. Ketemu di sana, ya," kata Mey lalu berjalan ke sebuah mobil yang baru saja berhenti di depan. Mereka masuk bergantian, namun Indi justru masih diam di tempat, menatap jam di pergelangan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
HorrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...