39. Home

89 25 15
                                    

Aku sedang berada di sebuah pesawat yang akan membawaku pulang ke rumah. Yah, pulang ke rumah. Kini aku punya tempat untuk dituju. Tempat yang bisa disebut rumah. Di mana ada orang-orang yang menganggap ku keluarga, dan kuanggap keluarga. Mama Irene duduk di sampingku. Papa duduk di kursi lain bersama salah satu saudara tiriku, yakni Bang Haikal. Anak pertama Papa dengan Mama Irene. Sementara anak bungsu mereka bernama Iqbal yang duduk seorang sendiri di sudut pesawat. Di telinga nya bertengger headset, kepalanya bergerak-gerak diikuti tubuhnya. Dia anak band sementara Bang Haikal lebih pendiam karena lulusan Universitas Kairo. Agamanya lebih unggul daripada kami tentunya. Maka dari itu dia lebih bisa menjaga sikap, dan juga lebih dewasa.

Untungnya mereka mampu menerima kehadiranku. Bahkan tidak tampak kebencian dari kedua pria itu. Justru mereka sangat menerima ku sebagai salah satu anggota keluarga baru.

"Gimana rasanya akhirnya pulang lagi ke Indonesia?" tanya Mama.

"Hm, campur aduk, Ma. Senang, sedih, nggak sangka aja. Rasanya aku sudah terbiasa dengan Korea."

"Kita bisa pergi ke sana lagi kapan-kapan."

Aku mengangguk dan bersandar di bahu Mama. Keluarga baru, kehidupan baru. Tapi cintaku masih sama seperti dulu. Bagaimana kabar Rangga? Apakah dia sudah menikah dengan wanita itu?

Baik Indi dan Mey tidak tau menahu kabar Rangga. Nita sekali pun tidak tau kabar Rangga. Bahkan pesan yang Nita kirim, jarang Rangga baca. Sekalipun Rangga membaca dan membalas, itu pun sekadarnya saja. Katanya sejak aku pergi, Rangga jarang berkumpul bersama lagi. Seolah sengaja bersembunyi atau benar-benar ingin melupakanku. Aku berharap dia baik-baik saja.

.
.
.

Aku sengaja tidak memberitahukan kepulanganku pada teman-teman. Ingin mengejutkan mereka dengan kemunculanku yang tiba-tiba. Aku dengar, mereka bekerja di stasiun radio yang bekerja sama dengan penerbitan majalah Dunia sebelah. Majalah bertema mistis dan perhantuan memang cocok untuk mereka. Aku juga mengenal beberapa pegawai di sana. Di sana aku mengenal Mey, Bang Cen, dan pemilik majalah tersebut Om Fendi. Salah satu penulis horor di sana juga idolaku. Danielo.

Dari Bandara ada supir yang menjemput. Tapi sebelum kami pergi, aku terpaksa ke toilet untuk buang air kecil.

"Jangan lama-lama, Ines. Sebentar lagi azan," kata Bang Haikal mewanti-wanti.

"Siap!" Aku berlari ke toilet sambil menoleh ke arah mereka yang masih menungguku. Tiba-tiba tubuhku terhuyung karena menabrak seseorang. Aku bahkan sampai terjatuh.

"Duh, maaf-maaf." sadar kalau hal ini akibat kesalahanku, tanpa melihat orang yang aku tabrak, aku segera meminta maaf sambil berusaha bangkit. Dia tidak menyahut, tapi malah mengulurkan tangan kanannya, membantuku berdiri.

Pria ini tampak tidak asing, sekali pun memakai masker dan hanya menampilkan kedua bola matanya saja. Tapi sorot matanya sangat aku kenal. Hanya saja aku lupa di mana. Dia juga memakai topi serta jaket denim. Dia mengangguk lalu berlalu meninggalkanku.

"Ines! Cepat!" jerit Iqbal kesal.

"Oke!"

.
.
.

Sebuah kamar berukuran 5x5 meter akan menjadi tempat aku tidur sekarang. Wallpaper berwarna pink dan pastel membuatku benar-benar nyaman. Penataan furniture serta boneka yang ada di ujung kasur membuatku seperti kembali muda. Sebelum kami pulang, Papa sudah menyiapkan kamar ini untukku. Begitu katanya. Kamar ini cukup luas jika disebut kamar, karena sebelumnya aku selalu tinggal di apartemen dengan ruangan yang hanya satu dan dibagi beberapa bagian. Saat membuka kamar, ada meja rias di dekat pintu. Cermin besar dengan lampu di sekitarnya benar-benar mengingatkan ku pada kamar Indi. Perlengkapan make up belum tersedia di sana. Akhirnya aku punya meja rias. Sehingga tidak selalu meletakkan make up dengan sembarangan. Di sisi kanan, dekat meja rias, ada lemari pakaian yang cukup besar. Ada tiga bagian lemari dengan ruangan cukup besar. Aku bahkan merasa pakaianku akan sangat muat masuk ke dalam sana. Bahkan mungkin malah akan ada ruang yang tidak terpakai. Setelah lemari, ada ranjang besar dengan bed cover warna cokelat muda. Bantal terlihat empuk. Dengan meja nakas di kanan kiri ranjang. Dilengkapi lampu di sana. Sisi paling ujung hanya ada karpet bulu yang berada di dekat balkon. Lalu sisi di seberang ada kamar mandi dalam. Ini yang paling aku suka. Benar-benar sesuai dengan apa yang aku mau. Aku tidak begitu suka berbagi kamar mandi, mungkin karena terbiasa hidup sendiri selama ini.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang